Minggu, 22 Maret 2015

CERPEN: TANTANGAN @KAMPUS FIKSI


CITA SELEMBAR DAUN
oleh: Anisa Ay

Yang menawan dari sekuntum bunga adalah daunnya.

“Apanya yang cantik? Bagiku dia sama dengan anak kelas Sembilan lainnya.” Galih masih fokus membaca komik Naruto favoritnya. Chapter di mana Sasuke dan Itachi harus bertarung sengit.
“Dia beda, Lih! Percaya deh sama aku! Kalian setipe.”
Galih menatapku tajam. Barusan seperti ia  telah mengeluarkan jurus Saringannya ke arahku. Harusnya segera aku lawan dengan Rasengan yang tidak kalah mematikan. Namun, aku lebih memilih mengibarkan bendera putih dan meneduhkan bola mata hitamku. Dia tetaplah sahabatku.
“Galih?” sambil ku benarkan posisi kacamataku yang sedikit miring, aku dekati tempat di mana Galih duduk sekarang. Duduk bersila diikuti dengan merebahkan tubuh mungilnya di dinding. Posisi terbaiknya untuk membaca komik.
“Apa?!” jawabnya ogah – ogahan tanpa menoleh ke arahku.
“Leni Ananta, namanya.”

***
Dua hari yang lalu…
Sinar matahari yang menyusup lewat celah – celah jendela, membentuk pelangi nan memukau. Hamburannya yang berdispersi dengan jendela kaca kamarku, menegaskan fenomena fisika yang kemarin baru saja aku dengar dari Pak Teguh, bukan bualan. Aku pun hanya bisa melihatnya samar – samar tanpa menggunakan kaca mata lensa cekungku. Otakku pun masih ragu untuk menyerap permintaan ibuku barusan, membeli tanaman bunga.
Sepuluh menit dengan berjalan gontai, tempat kejadian perkaran sudah terlihat. Yah, walaupun hanya menyala lima watt, mata ini masih sanggup untuk melihat arah tujuan.
“Kamu… anak SMP 7, kan?” suara nan lembut yang tidak kalah memukau dengan Yui tiba – tiba mengagetkan tidur dadakanku. Spontan aku terjungkal sambil meraba di mana kacamataku yang jatuh entah kemana.
“Ini kacamata kamu.” Sang pemilik suara merdu itu kembali mengalunkan musiknya di gendang telingaku.
Aku harus mengedipkan mataku berkali – kali untuk memperjelas siluet yang tengah berdiri di hadapanku, “Terima kasih,” sahutku.
“Ngomong – ngomong, cari apa?”
Aduh, dia perhatian sekali padaku. Eits, tunggu. Tentu saja dia bertanya seperti itu, ini kan toko tanaman milik ibunya.
“Cari tanaman bunga, Len. Apa aja. Yang penting indah untuk dilihat,” jawabku spontan.
“Tanaman bunga yang indah untuk dilihat?” Leni mengernyitkan dahinya. Seperti ada yang janggal dengan pernyataanku tadi.
“Ada yang aneh, ya dengan apa yang aku katakan?”
“Kau tahu Ardan, bagian tercantik dari tanaman adalah daunnya. Jarang sekali bukan, ada orang yang membeli tanaman bunga karena daunnya.” Wajah Leni tampak serius. Ia mengamati seuntai daun yang masih kokoh mendekap sang ranting pada tanaman bunga matahari.
“Mengapa begitu, Len?”
“Tanpa mahkota, tanaman itu akan tetap menyongsong paginya dengan gembira. Tapi, tanpa daun tak lagi ia bisa menghirup karbondioksida untuk diubah menjadi oksigen.”
“Menurutku, tanpa mahkota, ia takkan lagi dihinggapi kupu – kupu. Bahkan kejamnya, ia hanya akan terus sendirian menopang hidupnya,” jawabku membela diri.
Leni kembali menyunggingkan senyuman mininya. “Kan ada manusia yang akan selalu merawatnya. Kamu mungkin?”
Aku? Maksudnya apa nih? Jangan – jangan Leni sedang memberikan kode padaku. Ah, sudahlah. Bukan zamannya hanya memikirkan tentang cinta. Toh nanti ketika cita sudah setinggi awan yang berarak, cinta akan menyusulnya seperti layang – layang yang membumbung tinggi ke langit biru.


Tulisan ini diikutsertakan dalam tantangan @kampusfiksi dengan tema #rahimpuisi dan terinsipirasi dari puisi “Hatiku Selembar Daun Melayang Jatuh di Rumput” karya Sapardi Djoko Damono yang dapat dilihat di https://jikaku337.wordpress.com/category/hatiku-selembar-daun/

Solo, 23 Maret 13:35

Minggu, 15 Maret 2015

MEMELUK ANGKA NOL DI MERCUSUAR ZM WILLEM


MEMELUK ANGKA NOL DI MERCUSUAR ZM WILLEM
oleh: Anisa Ay

Mencarimu ibarat menaiki Mercusuar ZM Willem. Butuh beribu – ribu kalori untuk menaiki tangganya yang terdiri tujuh belas lantai. Dan kini, aku seperti terdampar di Pantai Sembilangan, menghirup oksigen yang tidak bisa dihirup, menatap awan yang tidak bisa dilihat dan mendengar deburan ombak yang tidak bisa aku rasakan debarannya.
“Lui, sudahlah hentikan! Kau hanya mencari kekosongan.”
“Tanpa angka nol, matematika tidak pernah punya arti, bukan?” jawabku memaksakan diri. Aku hanya membumbungkan egoku tanpa tahu ke mana ia hinggap.
“Kau memang benar. Tapi kau perlu ingat satu hal, angka nol-lah yang membuat ketakhinggaan pada harapanmu. Karena angka sebesar apa pun, tetap hasilnya tak hingga bila dibagi dengan angka nol.”
Wei, teman sekamarku, mungkin sudah lelah lesu lunglai menghadapiku. Ia selalau mendorongku ke jurang putus asa. Baru kali ini aku mendapati ada teman yang menyuruhku untuk menyerah. Tapi aku setuju dengan jawabannya. Jika aku berhenti, maka aku akan berlabuh di dermaga yang berbeda dengannya Wei, kau mengerti bukan? Aku ingin berlayar ke tempat ia bertahta.
Kehadiran seseorang yang berarti dalam hidup adalah candu yang tak akan pernah tergantikan oleh segepok kesenangan.[1]

***

Mentari masih enggan memeluk pagi. Begitu pun aku yang terlalu mencintai bantal bermotif bunga matahari lengkap dengan guling kesayangan yang sama sketsanya. Di luar jendela, bulir – bulir embun membuat lukisan nan sempurna bersama gerimis pagi ini. Yah, hujan di pertengahan bulan Maret.
“Lui! Kau tidak lupa agendamu hari ini, kan?” teriak Wei sambil menggoyang – goyangkan tubuhku yang masih lengket di kasur.
Kurang kerjaan sekali Wei ini, membuat gempa di kamarku pagi buta seperti ini, batinku.
“Lui!” kali ini, ia memberikan bom atomnya tepat di telingaku, membuatku terperangah dan harus membuka mata. Paling tidak, ia akan diam untuk semenit saja.
“Akhirnya kau bangun juga. Cepatlah mandi sana, jika kau tidak ingin kehilangan rombongan bus.” Wei berlalu meninggalkan ranjangku. “Dan ingat, rapikan selimut yang penuh dengan bekas liurmu itu,” pintanya sembari menutup pintu kamar.
Ada – ada saja dia, mana mungkin aku membuat pulau di selimut kesayanganku selama dua hari ini. Dia pasti mengigau. Namun, untuk pertama kalinya, aku mempercayainya. Ya… aku menemukan sebuah pulau di selimutku. Sama halnya seperti Bandung Bondowoso yang membuat seribu candi dalam semalam, aku pun menciptakan pulau dalam waktu yang singkat. “Aku memang jorok!”
Seberkas sinar matahari kini telah berani menghangatkanku di atas ranjang. Sambil mengucek mataku yang malas terbuka, ku cium udara pagi yang sarat oksigen. Paling tidak, aku telah memberi paru – paruku sarapan yang sehat.
”Memangnya ini jam berapa? Kenapa Wei seperti ulat yang bergoyang dumang tidak karuan seperti itu?” pandanganku mengitari kamar yang luasnya setengah dari kamarku di rumah. Memang tidak lebar, tapi cukuplah untuk aku dan Wei merebahkan penat usai mengambil data observasi di desa ini.
Di saat kita bersama
Di waktu kita tertawa
Menangis
Merenung
Oleh cinta
Nada dering smartphoneku bersenandung. Membuyarkan pencarianku. Dan sekarang, aku lupa menaruh benda ajaib selebar lima inchi tersebut.
Ku coba hapuskan rasa
Rasa di mana kau melayang jauh dari jiwaku
Juga mimpiku
Biarlah – biarlah
Dirimu dan diriku
Terbelenggu satu oleh ucapan manismu
Sial! Kenapa di saat genting seperti ini semua terasa berantakan. Akunya yang ceroboh atau keadaan yang sedang memusuhiku?
Lirik lagu Kita dari Sheila On 7 kembali bersenandung dan membuat pikiranku semakin tidak karuan. Aku membolak balik selimutku yang sudah ku lipat dengan rapi sebelumnya, membanting bantal guling dan membiarkan mereka beradu dengan lantai. Namun, aku masih belum menemukannya.
Semenit kemudian, aku tak lagi mendengar suara Mas Duta. Mungkin yang di seberang telepon sana sudah enggan menanti jawaban panggilan dariku.
“Lui!  Kau masih belum bangun?!” Wei kembali memasuki kamar dengan menyodorkan wajah pembegal. Siap memangsa korban di depannya.
Wei bengong. Ia kaget melihat pemandangan di depan pelupuk matanya kali ini. Baru lima menit ia tinggalkan, seakan telah terjadi komplikasi besar antara tsunami, gempa bumi, badai Catrina dan gunung meletus di dalam kamar. Bagaimana tidak, ranjang kepunyaannya yang bersih seperti piring yang telah dicuci dengan Sunlight, sekarang seperti bak sampah yang telah diaduk – aduk pemulung. Berantakan.
“Kau dendam padaku, ya? Atau ingin membuatku jantungan di usia muda?” tanya Wei sekenanya.
Aku pun hanya bisa menyengir kuda.
“Ah, sudahlah Lui. Kita harus menemui sesesorang. Segera!” perintah Wei seperti seorang jenderal kepada anak buahnya.
“Aku tidak mandi nih?” tanyaku penuh keraguan. Dia tidak benar menyuruhku keluar dengan bau kecut plus asam ini, kan?
Dengan sigap, aku mengambil baju gantiku pagi itu. Kaos lengan panjang berwarna tosca bermodel penguin dengan rok brukat hitam yang aku beli sebelum berangkat ke sini. Tampaknya ini akan sedikit menutupi ketidakmandianku. Dan tidak lupa sedikit aku taburkan bedak baby dan parfum melati kesukaanku. Sempurna.
“Kau memang pandai menipu. Ha ha ha!” tawa Wei membahana ke seisi kamar. Aku balas tawanya itu dengan lirikan tajam. Menusuk dan menyayat tempat di jantungnya.
“Maaf  - maaf Lui. Oke aku revisi. Kau pandai menghias diri. Sekarang kau puas, kan?”Aku hanya membisu. Tak perlu lah menanggapi keisengannya di saat emosiku sedang memuncak.
***
“Kau serius untuk ini Lui?”
Wei mendaratkan bola mata coklatnya ke arahku. Mengisyaratkan tanya yang harus dijawab sekarang.
“Reky Oasis namanya. Dia dikabarkan menghilang sejak kecelakan pesawat Air Asia kemarin. Dan tadi … aku melihatnya.”
“Jadi maksudmu, Reky sengaja menghindar atau bagaimana?” tanya Wei yang masih bingung dengan pernyataanku barusan.
“Sepertinya begitu. Keluarganya memang tidak menyetujui hubunganku dengannya.” Berat tenggorokan ini untuk bercerita kepada Wei tentang kisahku. Aku tidak menyangka bahwa orang yang akan membantu penelitian kami di kampung garam ini adalah Reky, kekasihku yang katanya dikabarkan meninggal.
Yah, dia dan keluarganya dengan apik telah membuat skenarionya yang tanpa cidera sedikit pun. Ingin sekali membuang siluetnya bersama ombak Pantai Sembilangan. Namun, aku hanya mendapati tubuhku yang lengket dipeluk asinnya air laut. Bagaimanapun juga, membuang tak selamanya berarti menghilangkan.
--END--

[1] dikutip dari Novel Lemannequin karya Mini GK
Cerpen ini dikutsertakan dalam tantangan @KampusFiksi dengan tema #MeminjamKata
Solo, 15 Maret 2015 15:06

Minggu, 08 Maret 2015

TUJUH TAHUN SEPULUH BULAN SEBELAS HARI YANG LALU

Kali ini, sepakbola tidak hanya bisa dilihat secara langsung di stadion, tetapi juga di dalam kereta api ekonomi. Bedanya, handphone jadul Rui yang menjadi obyek tendangan. Yah, dia tidak sengaja membiarkan si handphone menghantam lantai ketika berdesakan masuk gerbong yang hampir overload.
“Handphoneku!” seketika ia menjadi artis dadakan di balik bau asam dan kecut pekerja maupun mahasiswa yang akan pulang kampung.
Kini semua mata menembaki Rui. Dan dia hanya bisa senyum meringis sambil menundukkan sedikit kepalanya, sebagai pertanda minta maaf.
Semenit kemudian, ia larut dalam pencarian MH70, eh bukan, handphone N70-nya. Bagai semut yang kehilangan kawanannya, ia hanya celingak celinguk dan bilang permisi berkali – kali saat melewati penumpang yang sudah nyaman duduk di lantai beralaskan koran.
“Ini handphone mbak?”
Seorang siswa SMA yang masih mengenakan seragam abu – abunya mengangkatnya ke langit seolah – olah sedang mendapatkan piala kebanggaannya.
Kegundahan Rui pun lumer setelah soulmatenya itu berhasil ditemukan. Ia pun berjalan ke arah siswa tersebut yang masih asyik mendengarkan mp3 playernya.
“Terima kasih ya, Mas udah nemuin handphone saya?” Rui berbasa basi.
Si siswa yang berambut jambul kayan Tin Tin itu cuma angguk – angguk menikmati lagu yang terdendang dari kotak hitam bergaris merah. Ingat, ya kotak hitam di sini bukan blackbox yang biasa dicari tim SAR.
“Mas! Hellooooo!!!” teriak si Rui yang merasa dikacangin si ABG labil.
Rui pun menjadi artis di gerbong itu untuk kali kedua. Dan ia harus terpakasa nyengir kuda kembali.
“Ada apa ya, Mbak?”akhirnya si anak SMA baru sadar dirinya dipanggil.
“Handphone saya,” jawab Rui datar.
“Handphone mbak kenapa? Saya bukan tukang reparasi, Mbak?”
“Duh dek. Maksudnya handphone yang mas temukan barusan, nokia N70,” Rui sudah malas bertele – tele.
“N70? Masih ada handphone kayak gitu, Mbak?”
Ini mas malah bikin gunung berapi di hatiku meletus, batin Rui.
“Mbak, ini handphonenya di saya.” Tiba – tiba ada seorang ibu yang punya goresan halilintar di dahinya. Harry potter versi ibu – ibu.
Mendapati ada seseorang yang menepuk pundaknya mendadak, Rui berteriak sejadi – jadinya. Lagi, ia menjadi artis untuk ketiga kalinya.
“Tenang Mbak, saya bukan pencopet kok!”
“Eh iya bu. Maaf – maaf. Tapi terima kasih ya, Bu!” jawab Rui saat pikirannya mulai tersadar.
Si ibu pun kembali ke bangkunya setelah mengantar handphone milik Rui.
“Makanya mbak, kalau di gerbong waspada. Kayak yang dikatakan bang napi. Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelaku tapi juga karena ada kesempatan, waspadalah waspadalah!” ujar si ABG yang kembali bergeleng – geleng menikmati lagu dangdut dari dalam mp3nya.
Rui pun hanya manyun.
***
Hari ini, genap sudah tujuh tahun sepuluh bulan sebelas hari sejak hari itu. Yah, episode di gerbong itu menjadi kilasan sejarah yang tercatat apik di memori Rui. Dia menjanjikan pada dirinya bahwa drama sepakbola N70 tidak akan terulang. Ia pun menepatinya dengan tidak menumbalkan N70nya tetapi smartphone yang bernenek moyang sama dengan handphone jadulnya dulu.