Senin, 29 Juni 2015

CERPEN: DAFA 1/2


DAFA ½
Oleh: Anisa Ay


            “Kelak, dua puluh tahun yang akan datang sebelum kiamat tiba, manusia juga bakalan musnah dengan sendirinya.”
            “Bagaimana mungkin? Setahuku populasi manusia di dunia tumbuh dari tahun ke tahun,” sanggah Difa yang masih duduk di sampingku. Sekilas dari balik lensa cekungku, aku melihat matanya teduh memandangiku. Sial, aku tidak kuat kalau melihatnya terus menerus.
            “Kau pernah baca Inferno-nya Dan Brown?” tanyaku kepada Difa.
            “Belum. Kenapa memang?”
            Sudah bisa ditebak. Gadis ini memang suka baca tapi paling banter cuma novel teenlit yang mendayu-dayu. Kalau happy ending, dia bakalan cerita heboh, mengalahkan gempa bumi berkekuatan tujuh skala richter. Tapi, ini nih, yang paling aku benci. Dia bakalan menangis tersedu-sedu jika tokoh utama favoritnya dimatiin ama penulisnya. Hfuh.
            “Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak pernah baik, kan? Salah satunya, ya, penduduk dunia yang membludak ini seperti teori yang dikemukakan Malthus.”
            “Kau tidak akan bertindak macam-macam ‘kan, Daf?” ujar Difa.
Aku kagum akan kemampuannya yang satu ini. Ia seolah bisa membaca mimik dan gerak tubuhku. Padahal setengah mati aku berusaha menguburnya. Atau semua perempuan memang punya kemampuan ini?
            “Jangan terlalu mengkhawatirkanku. Aku akan memikirkanmu beribu kali sebelum melakukan hal yang aneh. Tenang saja,” hiburku. Semoga basa basi ini berhasil mengelabuinya.
            Semburat lukisan cantik tersketsa di wajah tirus Difa. Lesung pipit yang bertengger menyempurnakan pesonanya di mataku. Ah, lelaki mana yang bisa berkutik kalau di dekatnya. Beruntunglah aku sebagai laki-laki yang ia sayangi.
Namun, tanpa alasan yang jelas, orang itu telah berhasil merekahkan rasa kagum dengan varian rasa yang berbeda ketika bersama Difa.
            “Cie! Gini, nih kalo udah berduan. Gue ditinggalin di lapangan basket!” seru Dion.
            “Apa sih?” jawab Difa dengan raut wajah malu-malunya. Dion malah semakin cekikikan.
            “Ngomongin apa nih? Loe gak mau ngebom sekolah ini, kan?” ucap Dion sembari merangkulku dari belakang. Oh, no. Jangan sampai degup jantungku ini terdengar di telinganya.
            “Itu mah maunya kamu, kan? Biar bisa bolos seumur hidup,” timpalku sekenanya.
Tuhan, aku tidak ingin waktu berlalu begitu cepat. Diapit oleh dua orang yang kucintai, kegembiraan apalagi yang boleh kupinta selain itu?

***

            “ Loe cuma bercanda, kan, Daf?”
            “Aku ‘kan hanya bilang, enak ya kalau jadi Ranma ½ , terkadang bisa jadi laki-laki dan kalau pun ingin jadi perempuan, tinggal nyeburin badannya ke kolam.”
            “Gue mah ogah. “
            “Tumben. Anak alas kayak kamu mau jadi anak baik-baik.”
            “Haha… gue bakalan mikir beribu-ribu kali untuk menjadi abnormal kayak yang loe bilang barusan. Karena yang nentuin hidup gue bukan cuma gue aja.”
            “Maka dari itu, Di. Ini salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi peledakan penduduk dunia.”
            Busyet. Ngomong apa sih loe? Ini masih tentang Inferno-nya Dan Brown yang loe obrolin bareng Difa kemarin?”
            “Untuk menebus keburukan, apalagi yang bisa dilakukan kecuali dengan kebaikan?”
            Lagi, aku lihat mata burung elang itu menghujam tepat di jantungku. Rasanya, ingin kukubur geliat perasaan absurb ini. Namun, tidak bisa. Oke, aku bohong. Sebenarnya aku memang tidak ingin melakukannya. Biarlah ia dan Difa menjadi dua orang terkasih yang bersemayam selamanya di relung hatiku hingga misi ini berhasil terlaksana. Segera aku harus mengubah genderku. Bukan dengan operasi transgender yang biasa dilakukan di Thailand. Melainkan membiseksualkan ketertarikanku. Saat dekat dengan Difa, aku harus mengubah diri menjadi Dafa perempuan dan bertransformasi menjadi Dafa yang lain ketika di dekat Dion. Dengan begitu tak ada lagi hasrat dan nafsu yang berkembang. Alhasil populasi manusia bisa direm.
            Misi siap dilaksanakan.

--ooOOoo—

Solo, 29 Juni 2015
21: 50

Tulisan ini diikutsertakan dalam tantangan @kampusfiksi dengan tema #FiksiLGBT

Sabtu, 27 Juni 2015

CERPEN: RECYCLE


RECYCLE
Oleh: Anisa Ay


“Kay, tunggu!”
“Apa lagi? Loe pengen gue minta maaf? Itu hanya ada dalam mimpi!” seru Kay kepada kawan seorganisasinya.
“Kamu ‘kan kenal Dilan sejak lama. Jika udah ngomongin tentang laut, bencinya ia mirip Gunung Sinabung yang sedang erupsi.”
“Dia udah gede, Vi!”
“Kamu juga udah gede, Kay.”
            Kay dan Avi mematung di bawah rerimbunan pohon trembesi yang masih sibuk berfotosintesis, memberi makanan siang terbaik untuk paru-paru kedua mahasiswa tersebut.
            Kay membuang amarahnya bersamaan dengan hembusan angin musim kemarau yang masih angkuh menubruk siapa saja penghalang pergerakannya.
            “Kau harus menolongnya, Kay. Ah, bukan. Kita harus mengubah sikap paranoidnya itu.”
            “Untuk apa, Vi? Dianya aja ogah-ogahan gitu. Lagian siapa gue di mata Dilan?” ujar Kay tanpa menoleh ke arah Avi yang duduk di sampingnya. Ransel yang ia bawa selepas mengikuti mata kuliah Bu Endah terpaksa ia istirahatkan sementara. Pundaknya belum cukup kuat membopong lama-lama laptop dan peralatan kuliahnya lainnya yang beratnya mencapai angka lima kilogram.
            “Sejak kapan kau butuh alasan? Bukankah alasan tidak punya tempat di hati seorang sahabat tulen?
            Hujaman bola mata arang Avi bak katana yang siap menghunus samurai-samurai lain yang menyerang. Kay tidak berkutik. Permintaan gadis berjilbab itu seperti perintah Raja kepada prajuritnya. Tidak perlu negosiasi apalagi bantahan.
            “Gue paling benci jika loe udah ngomong, Vi!”

***

            Tirai berwarna toska berayun dengan anggun di balik jendela kaca kamar Dilan. Serupa warna senja yang sedang merona, buku catatan bersampul orange itu tergeletak cukup lama di pojok meja belajarnya. Sendiri. Tanpa sekali pun disentuh si empunya. Terkadang semut-semut yang bertransmigrasi menyapa punggung buku itu memberikan jejak setapak di atas debu-debu yang sengaja dibiarkan bertebaran. Dilan sendiri masih terlelap dalam mimpi-mimpi masa kecilnya. Masa di mana ia menghabiskan waktu dan rela pergi dari dunia ini asal orang itu bahagia. Ya… hanya orang itu yang paling ia rindukan saat ini, esok dan seterusnya.
            Sebuah pesan lewat Blackberry Messenger masuk. Dari teman SMA sekaligus kuliahnya.
Kay      : Aku mau bicara sebentar. Bisa temui aku di Batagor Pak Jum?
Dilan    : Ogah!
Kay      : Just five minutes. Please?
Dilan    : Only three minutes. No more.
Kay      : Okay! Setengah jam lagi, ya? Thank you J
Jelas ini bukan Kay. Sejak kapan ia pakai kata aku kamu, gumam Dilan dalam hati.

***

Pukul empat sore lewat tujuh menit Dilan sudah sampai di tempat yang dituju. Batagor Pak Jum adalah tempat kesukaan Kay. Di sini, masih kata Kay, makanan apapun yang dipesan selalu tersaji. Plus bagian tengah dari gerai kongko-kongko ini terdapat kolam renang yang tidak boleh dimasuki sembarang orang kecuali dengan ijin yang punya restoran. Sedangkan di tepi kolam sengaja diberikan tempat lesehan agar pengunjung bisa menikmati melodi yang dinyanyikan oleh gemericik air. Menentramkan hati, bukan?
“Sudah lama menunggunya?” sapa seorang gadis kepada Dilan.
Siluet orang yang dikenalnya muncul dari balik punggung. Awalnya, ia pikir pesan itu sungguh dari Kay. Namun, dugaanya memang selalu tepat.
“Mana, Kay?” tanya Dilan yang tidak mendapati keberadaan si pengirim pesan.
“Dia belum datang? Padahal aku menyuruhnya untuk tidak terlambat.”
“Hanya tiga menit!” ulang Dilan lagi. Ah, sepertinya ia terlalu jenuh menghadapi dua gadis yang paling dekat dalam hidupnya selain ibu dan adiknya.
“Baiklah. Ayo kita duduk di sana dan aku akan akan menyalakan alarm jam tanganku untuk tiga menit ke depan. Deal?” pinta Avi. Dan hanya dibalas Dilan dengan tatapan datar. Jika ekspresinya seperti itu berarti jawabannya adalah setuju.
Satu menit berlalu.
Dua menit terlewati sia-sia.
Tak ada tanda ataupun bau badan Kay yang tercium.
Tiga menit sudah. Tamatlah rencana Avi. Dia merasa telah gagal menjadi kawan dari kedua sahabatnya.
“Aku pulang!” seru Dilan ketika ia mulai beranjak dari tempat lesehannya. Hingga tiba-tiba orang itu mendorongnya ke tengah kolam renang dan lalu menceburkan dirinya juga bersama-sama.
“Vi, tolong aku! Aku tidak bisa berenang!” teriak Dilan sebisa yang ia lakukan. Kejadian sepuluh tahun silam telah berhasil menghipnotisnya untuk tidak mau berenang.
“Tenang dan nikmatilah panorama di bawah air, Dil!”
“Gila apa? Keadaan segenting ini, kau malah memintaku tenang. Bisa mati tenggelam beneran nih!” teriak Dilan dengan napas yang tersisa.
Just relax!” ucap Avi sekali lagi.
Dilan berusaha semampunya untuk tenang mengikuti kata Avi. Ia tenggelamkan wajahnya ke dalam kolam. Sebuah bayangan seseorang mendekatinya. Seseorang cukup ia kenal. Kay.
Jarak mereka tak lebih dari satu meter saat Kay mengeluarkan satu demi satu kejutannya kali ini. Sebuah kertas bertulis tangan yang sengaja dilaminating agar tidak basah di dalam air. Kertas putih bertinta hitam dari masa lalu keduanya. Pesan terakhir adik Dilan sebelum ia menghilang terseret ombak Pantai Klayar.
Kak Dilan tersayang…Deila selalu sayang, Kakak!
Dari tangan kirinya, Kay mengeluarkan buku bersampul orange tadi yang ia masukkan ke dalam kantong plastik. Sorot mata Dilan yang tadinya merah padam berubah sendu. Ada sedih yang tersirat di balik mata abunya.
Ayo ke atas permukaan air. Mungkin itu terjemahan kata yang ingin diucapakn Kay saat jari telunjukknya mengacung di dalam air. Keduanya pun muncul bersamaan lalu disambut sunggingan senyuman dari Avi. Kemudian diikuti Dilan dan Kay.
“Kalian benar-benar tolol! Kalau aku beneran tenggelam gimana?”
“Itu berarti loe kebangetan. Kolam ini dalamnya cuma dua meter!”
“Terserah! Tapi awas, ya jika buku itu sampe rusak. Hidup kamu tamat di sini!”
Ketiga saling bertatapan. Bercakap lewat bahasa kalbu. Sesekali tertawa lalu terdiam dan tertawa lagi. Bukankah ini perjalanan yang mengagumkan? Silih berganti tanpa perlu ada yang berubah.
--ooOOoo—

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com

Selasa, 23 Juni 2015

CERPEN: BODO AMAT

BODO AMAT
Oleh: Anisa Ay


Ketika angin hanya dirasa dan langit hanya dilihat. Maka manusia tak memerlukan kelima panca inderanya, bukan?

***

            Pertengahan bulan Januari ketika awan mendung seperti biasanya menganopi bumi.
“Gue baru aja denger tadi kalo ada tindak pemerkosaan di angkutan bro!” ujar si cowok berambut belah tengah yang mirip Jimmy Lin, aktor tahun 90-an dari Taiwan, kepada rekan mengopinya pagi ini.
“Emang cewek loe yang jadi korban?” sahut cowok satunya masih sibuk mengunyah mendoan terakhir yang tersisa di atas lepek.
Amit-amit, deh. Kok loe cuek gitu sih. Ini berita lagi heboh, Ceng.”
“Bodo amat. Tuh korban ma pelakunya juga bukan saudara gue!” seru Aceng. Lepek yang tadi penuh dengan mendoan dan bakwan, kini sudah kosong digantikan angin pagi. Ah, tapi apalah guna angin itu berhembus. Toh, mayoritas orang apatis kepadanya.
“Gimana kalo itu terjadi ama keluarga loe? Masih bodo amat juga?”
“Haha… gue udah kagak punya keluarga lagi, Dul!”

***
           
“Baca apaan loe? Serius banget, Don!”
            “Ini, Ceng. Koran bekas bungkus gorengan tadi ternyata ada berita yang bikin miris. Ngerilah pokoknya!”
            “Kenapa lagi emang? Itu sih pintar-pintarnya wartawan ngarang berita. Jangan mau dikadalin! Udah sering kita digituin ama pemerintah!” pekik Aceng yang baru saja menyelesaikan seruputan terakhir es tehnya.
            “Loe itu kelewat tak acuh, Ceng. Ada anak kecil dibunuh aja, sama sekali kagak ada rasa simpatinya.”
            “Bodo amat. Mereka aja juga kagak peduli ama nasib pekerja serabutan kayak gue gini. Jadi buat apa gue ambil pusing urusan mereka.”
            Gendon yang masih kongko-kongko di atas jok motornya geleng-geleng tidak percaya. Ada juga ya, manusia yang apatis dengan keadaan sekitarnya, gumamnya dalam hati. Mungkin beberapa tahun ke depan, guru biologi akan kebingungan menjelaskan perbedaan simbiosis mutualisme, komensalisme dan parasitisme. Atau lebih parahnya, bab itu akan terhapus dibawa pergolakan zaman yang semakin angkuh menyombongkan kemampuannya. Manusia semakin egois.

***
           
Duer!
            Tabrakan antara ibu rumah tangga dengan tukang becak tak terelakkan lagi. Beberapa orang yang tengah sibuk mengunyah menu makan siang mereka bak diberi tontonan gratis. Namun, jika bisa memilih, mereka tentu tidak ingin melihatnya.
            Dua tiga orang yang sedang berlalulalang menghentikan langkah mereka, menengok peristiwa apa yang baru saja terjadi. Hampir semua warga yang melihat hanya mematung. Tak ada satu pun yang beranjak untuk berusaha menolong. Hingga seorang laki-laki yang mengaku sebagai anak si tukang becak, yang juga tukang parkir di sekitar tempat kejadian perkara, berteriak histeris meminta tolong siapa saja yang masih punya rasa empati di hatinya.
            Tiga empat menit berlalu. Tak ada yang berubah. Semua orang masih membatu. Baru setelah si anak mendekati salah seorang warga dan menariknya untuk membantu mengangkat sang ayah, beberapa laki-laki tanpa disuruh ikut menolong. Tak lebih dari lima belas menit kemudian, kedua korban sudah dibawa ke rumah sakit terdekat.

***

“Eh, Ceng! Gue baru dapat berita hot nih!”
          “Apa lagi? Aktris inisial BS nikah lagi? Atau ada gempa di salah satu pulau tak bernama milik Indonesia?” jawab Aceng ogah-ogahan. Paling-paling berita yang sengaja dibuat heboh sebagai pengalihan wacana.
            “Bukanlah! Itu tadi di depan pasar ada tabrakan tukang becak dengan ibu gendut. Keduanya luka parah. Sekarang baru aja dibawa ke rumah sakit.”
            “Bodo amat. Kayak gitu loe bilang hot? Panasan juga kopi pahit gue ini,” tunjuk Aceng pada segelas kopi kental pahit yang sudah tersaji sebelum kawannya itu tadi datang.
            Drrt…drrt…drrt.
            Smartphone kepunyaan Aceng bergetar. Sebuah pesan di whatsapp masuk. Dari kakak laki-lakinya.
Ayah tabrakan. Cepetan ke sini. RS Cipta Sehat. Segera!

--ooOOoo--

Pesan yang ingin disampaikan adalah semoga dengan cerpen ini tak ada lagi robot-robot berhati dingin yang bersemayam di hati setiap manusia. Hingga takkan lagi tercipta mesin-mesin egois dalam diri anak-anak kelak. Aamiin.

Solo, 23 Juni 2015
22:19

Tulisan ini diikutsertakan dalam tantangan @kampusfiksi dengan tema #PesanMoral