Rabu, 30 September 2015

BUKANKAH SOLO MASIH PREMATUR?


BUKANKAH SOLO MASIH PREMATUR?

Solo yang dikenal dengan semboyan BERSERInya telah memiliki beberapa ruang publik. Di antaranya Taman Sekartaji, Balekambang, taman di Monumen 45, taman dekat toko sepatu Sadinoe dan beberapa ruang terbuka hijau yang tidak bernama. Dulunya, beberapa dari ruang publik tadi adalah pemukiman liar, warung-warung semi permanen dan ada pula yang berupa tanah kosong tidak terpelihara. Sekarang wajahnya telah dimake up dan menjadi menarik bagi siapa yang memandangnya. Namun, bukankah ada kalanya make up memudar termakan waktu?
Beberapa fasilitas seperti ayunan, perosotan, rumah-rumahan berkanopi memang sudah tersedia dengan baik. Namun, toilet dan tempat sampah seolah menjadi sesuatu yang tidak diperlukan. Padahal, di tempat umum mana pun, kedua fasilitas tersebutlah yang lebih krusial.
Taman Tirtonadi contohnya. Sepengetahuan yang saya lihat, tidak dijumpainya toilet menjadi salah satu penyebab bau tidak sedap yang tercium di pojok-pojok taman. Belum lagi sampah-sampah yang berserakan dari pengunjung yang tidak dibuang pada tempatnya. Atau lebih parahnya lagi malah dilempar melewati pagar pembatas menuju Kali Anyar.
Tentu saja, tersedianya ruang publik dan ruang terbuka hijau tidak selalu berdampak positif. Ah, sepertinya untuk kasus yang ini, attitude pribadi masing-masinglah yang menjadi penyebabnya. Ketika lampu-lampu yang seharusnya digunakan sebagai penerang kala malam menyapa malah dirusak oleh tangan-tangan jail, maka ruang publik tersebut sering kali dijadikan tempat pasangan kekasih untuk bertindak neko-neko. Ironis. Mau bagaimana lagi? Mau menyalahkan pemkot untuk keteledorannya kali ini? Bagaimana kalau kita mencoba untuk berkaca terlebih dahulu.
Alangkah menyenangkannya jika kebutuhan ruang publik dan pastinya ruang hijau bukan dibebankan kepada pemkot semata. Saya sungguh iri kepada negara tetangga yang minim lahan tapi dapat berinovasi agar “stres” yang diderita warganya dapat menghilang bersamaan saat berada di ruang publik nan asri. Eits, jangan hanya dilihat dari sisi enaknya saja, ya. Otomatis ini adalah hasil dari simbiosis mutualisme antara pemerintah dan warganya. Inisiatif pribadi masing-masing lalu disambut hangat oleh aparat-aparat di bidangnya. Andaikan saja seperti itu di Indonesia? #BicaraAndai
Namun, mimpi tetaplah menjadi mimpi bila kita terbangun tapi hanya mematung. Seperti itulah tantangan ruang publik di Indonesia. Khususnya di Solo. Perlu banyak berbenah karena kita hanya pandai membuat tapi bego dalam memilihara. Cerdas menciptakan anak-anak bangsa yang brilliant kemudian “membuangnya” ke negeri orang. Analogi yang pas, bukan?
Harapannya, ketika kita tahu ini salah kaprah, paling tidak ada suatu hasrat yang mencuat untuk melakukan perubahan. Perubahan akan attitude yang buruk, pola pikir yang tidak out of the box dan juga kesadaran yang masih tertidur. Bagaimanapun juga, bukan lagi disebut simbiosis jika tidak ada tindakan dari masing-masing pemerannya.