Minggu, 22 November 2015

KOMPETISI MENULIS BERSAMA NULISBUKU.COM DAN WWW.CEKAJA.COM


HARI KEDUA PULUH TIGA DI BULAN JUNI

Ini bukan hari pertamaku kerja. Tapi kebahagiaan ini, lebih semerbak ketimbang bunga sakura yang tengah bermekaran. Tentu ini bukan tentang gaji di atas UMR ataupun jatah cuti tiap bulannya. Ada hal yang kadang tak perlu kasat mata untuk dapat kita terima keriangannya.
Kisah ini bermula di hari kedua puluh tiga bulan Juni. Rumah nomor dua puluh tiga berpagar bambu dengan bunga angsana yang anggun menyambutku. Dia berhasil yang  memberikan sinar polikromatiknya dalam prisma hidupku. Dialah sumber pelangiku.
Tok tok tok.
Tak lebih dari lima menit, si empunya rumah sudah hadir di ambang pintu. Wanita yang kuperkirakan umurnya tiga puluhan. Tanpa polesan make up, lekuk rupanya mengingatkanku dengan Mentari, kembang desa yang kini malah menjanda. Dia ditinggal kabur suaminya yang belakangn ini diketahui menggelapkan uang kantor. Memang, hidup bukan sekadar materi.
“Ada apa, Tuan?” sapanya sejurus kemudian.
Eh! Aku dipanggil tuan?
“Maaf, Mbak. Ini ada surat untuk Mbak Cahaya”, jawabku.
Untungnya aku sudah membaca terlebih dahulu namanya di paketan ini. Sebenarnya, akupun ingin memprotes panggilannya padaku. Tapi toh buat apa? Paling kagak ketemu lagi.
“Terima kasih, Tuan. Mungkin beberapa bulan ke depan saya sedikit merepotkan Anda,” pungkasnya di akhir percakapan kami.
“Eh, maksudnya, Mbak?”
“ Maaf, maaf! Terima kasih atas paketannya.”
Mbak yang memiliki pesona aphrodite itu memasuki kembali rumahnya. Ada aura aneh ketika ia mengatakan hal yang demikian. Seperti ada benang merah yang tak terlihat menghubungkan kami. Bodoh! Aku terlalu berlebihan. Tidak ada cinta pada pandangan pertama. Aku mempercayainya. Begitu pula dengan Mbak berwajah bunga udumbara tadi.
Hari ke lima belas bulan Agustus
            Dua hari lagi, genap enam puluh tahun negeri seribu asap ini lahir. Terbebas dari penjajahan asing tapi masih terpuruk oleh orang-orang sendiri. Ah, terlalu berat membicarakan masalah beginian.
            “Aris, ini bagian paketanmu untuk hari ini. Have fun, ya?” seloroh Alin.
            Aku tahu persis dia mengejekku. Bukan karena rupaku sekumal tumpukan jerami atau sekusut kain katun yang tidak bisa diseterika. Tetapi jatah paket dan surat-surat yang harus kukirim lebih banyak ketimbang kemarin-kemarin. Dua karung ukuran seperempat kuintal sudah menanti. Untunglah, Alin membantuku memilah-milah alamat tujuan yang searah. Terima kasih, Neng.
            Alamat ini? Seperti pernah ke sana sebelumnya. Ah, tentu saja aku pernah ke sana. Bukankah ini pekerjaanku mendatangi rumah-rumah sambil membawakan pesan dari si pengirim. Kadang kujumpai segurat senyum yang mengembang. Namun, tak jarang pula kulihat pancaran bola mata si penerima meredup. Memang seperti inilah episode kehidupan.
            Umbul-umbul sudah bertebaran di mana-mana. Dari jalan antarprovinsi hingga gang-gang tikus yang bahkan untuk bersisian dua motor saja susah, masih dipaksakan untuk dipasangi bendera merah putih di sisi kanan atau kirinya. Aku sih warga negara Indonesia, tapi bukan begini caraku merayakan kemerdekaan. Pentok-pentok, seminggu kemudian hanya tinggal angin yang menyapu gang sempit itu tanpa sedikit pun tersisa doa dan harapan untuk negara ini. Ah, mengkritik memang mudah.
            Mentari sudah hampir sampai di batas horizon. Masih ada satu surat lagi yang harus kuantar. Alamatnya cukup buncit dari tempat kerjaku namun searah dengan jalan pulangku.
            “Assalamu’alaikum,” ujarku yang sudah terpaku dari balik pagar. Kenapa terasa tidak asing? Pasti aku pernah ke sini sebelumnya.
            Masih belum ada sahutan dari dalam rumah. Kupencet untuk ketiga kalinya bel yang terpasang di sudut kanan pagar bercat hijau itu.
            “Wa’alaikumsalam.”
            Sesosok perempuan yang memakai jilbab bermotif bunga pink berjalan anggun mendekatiku. Senyumnya terkembang. Loh! Dia wanita berwajah udumbara itu. Penampilannya berubah seratus delapan puluh derajat. Hampir aku tak mengenalinya lagi.
            “Tuan, masih ingat saya?” tanyanya setelah jarak kami tak lebih dari dua meter.
            “Mbak yang dulu tinggal di daerah Mojosongo, kan?” ujarku keheranan.
            Dia mengangguk. Bola mata cokelatnya masih sehangat secup cappuccino yang biasa aku seruput tiap malam.
            “Ada paket untuk saya, Tuan?”
            “Iya, Mbak. Tadi saya pikir saya salah alamat karena yang membuka Mbak.”
            “Sekarang saya tinggal di sini, Tuan. Terima kasih paketannya.”
            Gadis itu memunggungiku. Mataku masih belum mau berkedip sampai pintu berbahan jati itu berdecit. Ia menghilang.
***
            Sepanjang hari hibernasiku, narasi dari televisi tidak henti-hentinya mengudarakan status kabut asap yang melanda daerah Sumatra dan Kalimantan. Desas sesis lawan politik yang berulah pun tak lupa dihembuskan agar suhu di mana-mana ikut memanas.
            “Jatahku hari ini sedikit, Lin?” tanyaku di hari pertama bulan September. Setelah kemarin seharian terkungkung dalam rumah, staminaku cukup fit untuk bekerja sekarang.
            “Iya, Ris. Paketan dari beberapa daerah di Sumatra delay karena bencana asap. Akibat musim kemarau, apa-apa jadi mudah tersulut. Termasuk emosi.”
            “Itu mah kamu, Lin. Gara-gara tidak diijinkan cuti, ya?” selorohku kepada Alin.
Usia kandungannya yang sudah menginjak tiga puluh dua minggu memaksanya untuk istirahat. Tapi entah alasan apa, Pak Hans belum menacc pengajuan cutinya.
            “Terus saja meledek. Gih sana berangkat sebelum hujan angin.”
            “Iya, Neng. Lagian masih jarang hujan juga kali.”
Matahari masih mentereng di atas kepala. Jilatannya hari ini lebih tajam ketimbang pisau kepunyaan tukang begal sapi. Dan seragamku yang berwarna merah pun sudah bau kecut sejak sejam lalu. Tapi tak apalah, paketanku tinggal sedikit jadi harus dibetah-betahin dengan parfum alami badanku. Kamu kuat, Ris.
***
            “Cahaya sudah tidak tinggal di sini lagi, Mas. Balik ke kampung halamannya. Wonogiri.”
            “Oh, saya kira Mbak itu tinggal di sini,” sanggahku.
Kali ini aku mengantar sepucuk surat beramplop deragem dari pengirim yang berada di pulau seberang.
            “Kalau begitu, saya titip surat ini kepada Ibu, nggih?” imbuhku.
            “Jangan, Mas. Cahaya tidak akan balik lagi ke sini. Dia akan mengurus jenazah adiknya yang meninggal saat bertugas menjadi dokter muda di Minas.”
            “Apakah Ibu tahu alamat rumahnya di Wonogiri?”
            “Kurang tahu, Mas. Maaf saya pamit masuk rumah dulu. Anak saya sedang tidur jadi takut terbangun dan tidak ada orang di sampingnya. Mari!”
            Diriku terpaku dari balik pagar. Tangan kananku masih memegang surat dari Surya yang entah siapanya Mbak Cahaya itu. Sekarang, apa yang harus aku lakukan?
            Tanpa perlu lagi komando, jari telunjuk dan jempolku berkerjasama membuka perekat dari amplop tersebut. Lancang! Logika berkata demikian. Tapi apa daya, kekepoanku mengalahkan segalanya. Mungkin mereka yang coba-coba dengan dunia kelam awalnya juga dari hasrat seperti diriku sekarang tapi malah berakhir kebablasan.
            Perekat dari ujung satu ke ujung yang lainnya pun terbuka. Sebuah kertas garis biasa dengan merk di bagian bawahnya yang lazim digunakan anak sekolah menjadi titik perhatianku. Ini bukan surat dari anak SD yang sedang menyatakan suka, kan?
Minas, 3 Oktober 2015
            Assalamu’alaikum, Mbak. Bagaimana kabar di Solo sana? Salam untuk Budhe In yang bersedia menemani Mbak pindah kos karena ketahuan Mas Handoyo.
            Oh, ya, Mbak. Sepekan lagi tugasku di sini selesai. Jadi aku bisa segera menemani Mbak mengurus masalah perceraian dengan Mas Handoko. Aku ingin Mbak segera bebas dari hutang budi dengan keluarga mereka. Ini memang salahku yang menyebabkan Mbak menikahi laki-laki yang tidak Mbak cintai. Sekali lagi, aku minta maaf, Mbak. Aku baru sadar bahwa ada hal yang tidak perlu kita sentuh untuk membuatnya terasa ada. Yaitu cinta.
Tunggu aku pulang, ya, Mbak.

Dari Adik yang akan menjagamu,
Surya Anggara
           
Kenapa surat ini baru sampai sekarang? Seharusnya jika tidak terkendala, tiga hari yang lalu pesan dari Surya ini sudah dibaca Mbak Cahaya. Tunggu! Surya Anggara? Nama yang tidak asing. Ah, aku ingat! Dia dokter muda yang diberitakan meninggal karena berada di daerah endemik Sumatra. Ya Tuhan.
Wanita berwajah udumbara itu… kapan lagi aku bisa melihatmu?
--ooOOoo--
 Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan NulisBuku.com.

HARI KEDUA PULUH TIGA DI BULAN JUNI

Ini bukan hari pertamaku kerja. Tapi kebahagiaan ini, lebih semerbak ketimbang bunga sakura yang tengah bermekaran. Tentu ini bukan tentang gaji di atas UMR ataupun jatah cuti tiap bulannya. Ada hal yang kadang tak perlu kasat mata untuk dapat kita terima keriangannya.
Kisah ini bermula di hari kedua puluh tiga bulan Juni. Rumah nomor dua puluh tiga berpagar bambu dengan bunga angsana yang anggun menyambutku. Dia berhasil yang  memberikan sinar polikromatiknya dalam prisma hidupku. Dialah sumber pelangiku.
Tok tok tok.
Tak lebih dari lima menit, si empunya rumah sudah hadir di ambang pintu. Wanita yang kuperkirakan umurnya tiga puluhan. Tanpa polesan make up, lekuk rupanya mengingatkanku dengan Mentari, kembang desa yang kini malah menjanda. Dia ditinggal kabur suaminya yang belakangn ini diketahui menggelapkan uang kantor. Memang, hidup bukan sekadar materi.
“Ada apa, Tuan?” sapanya sejurus kemudian.
Eh! Aku dipanggil tuan?
“Maaf, Mbak. Ini ada surat untuk Mbak Cahaya”, jawabku.
Untungnya aku sudah membaca terlebih dahulu namanya di paketan ini. Sebenarnya, akupun ingin memprotes panggilannya padaku. Tapi toh buat apa? Paling kagak ketemu lagi.
“Terima kasih, Tuan. Mungkin beberapa bulan ke depan saya sedikit merepotkan Anda,” pungkasnya di akhir percakapan kami.
“Eh, maksudnya, Mbak?”
“ Maaf, maaf! Terima kasih atas paketannya.”
Mbak yang memiliki pesona aphrodite itu memasuki kembali rumahnya. Ada aura aneh ketika ia mengatakan hal yang demikian. Seperti ada benang merah yang tak terlihat menghubungkan kami. Bodoh! Aku terlalu berlebihan. Tidak ada cinta pada pandangan pertama. Aku mempercayainya. Begitu pula dengan Mbak berwajah bunga udumbara tadi.
Hari ke lima belas bulan Agustus
            Dua hari lagi, genap enam puluh tahun negeri seribu asap ini lahir. Terbebas dari penjajahan asing tapi masih terpuruk oleh orang-orang sendiri. Ah, terlalu berat membicarakan masalah beginian.
            “Aris, ini bagian paketanmu untuk hari ini. Have fun, ya?” seloroh Alin.
            Aku tahu persis dia mengejekku. Bukan karena rupaku sekumal tumpukan jerami atau sekusut kain katun yang tidak bisa diseterika. Tetapi jatah paket dan surat-surat yang harus kukirim lebih banyak ketimbang kemarin-kemarin. Dua karung ukuran seperempat kuintal sudah menanti. Untunglah, Alin membantuku memilah-milah alamat tujuan yang searah. Terima kasih, Neng.
            Alamat ini? Seperti pernah ke sana sebelumnya. Ah, tentu saja aku pernah ke sana. Bukankah ini pekerjaanku mendatangi rumah-rumah sambil membawakan pesan dari si pengirim. Kadang kujumpai segurat senyum yang mengembang. Namun, tak jarang pula kulihat pancaran bola mata si penerima meredup. Memang seperti inilah episode kehidupan.
            Umbul-umbul sudah bertebaran di mana-mana. Dari jalan antarprovinsi hingga gang-gang tikus yang bahkan untuk bersisian dua motor saja susah, masih dipaksakan untuk dipasangi bendera merah putih di sisi kanan atau kirinya. Aku sih warga negara Indonesia, tapi bukan begini caraku merayakan kemerdekaan. Pentok-pentok, seminggu kemudian hanya tinggal angin yang menyapu gang sempit itu tanpa sedikit pun tersisa doa dan harapan untuk negara ini. Ah, mengkritik memang mudah.
            Mentari sudah hampir sampai di batas horizon. Masih ada satu surat lagi yang harus kuantar. Alamatnya cukup buncit dari tempat kerjaku namun searah dengan jalan pulangku.
            “Assalamu’alaikum,” ujarku yang sudah terpaku dari balik pagar. Kenapa terasa tidak asing? Pasti aku pernah ke sini sebelumnya.
            Masih belum ada sahutan dari dalam rumah. Kupencet untuk ketiga kalinya bel yang terpasang di sudut kanan pagar bercat hijau itu.
            “Wa’alaikumsalam.”
            Sesosok perempuan yang memakai jilbab bermotif bunga pink berjalan anggun mendekatiku. Senyumnya terkembang. Loh! Dia wanita berwajah udumbara itu. Penampilannya berubah seratus delapan puluh derajat. Hampir aku tak mengenalinya lagi.
            “Tuan, masih ingat saya?” tanyanya setelah jarak kami tak lebih dari dua meter.
            “Mbak yang dulu tinggal di daerah Mojosongo, kan?” ujarku keheranan.
            Dia mengangguk. Bola mata cokelatnya masih sehangat secup cappuccino yang biasa aku seruput tiap malam.
            “Ada paket untuk saya, Tuan?”
            “Iya, Mbak. Tadi saya pikir saya salah alamat karena yang membuka Mbak.”
            “Sekarang saya tinggal di sini, Tuan. Terima kasih paketannya.”
            Gadis itu memunggungiku. Mataku masih belum mau berkedip sampai pintu berbahan jati itu berdecit. Ia menghilang.
***
            Sepanjang hari hibernasiku, narasi dari televisi tidak henti-hentinya mengudarakan status kabut asap yang melanda daerah Sumatra dan Kalimantan. Desas sesis lawan politik yang berulah pun tak lupa dihembuskan agar suhu di mana-mana ikut memanas.
            “Jatahku hari ini sedikit, Lin?” tanyaku di hari pertama bulan September. Setelah kemarin seharian terkungkung dalam rumah, staminaku cukup fit untuk bekerja sekarang.
            “Iya, Ris. Paketan dari beberapa daerah di Sumatra delay karena bencana asap. Akibat musim kemarau, apa-apa jadi mudah tersulut. Termasuk emosi.”
            “Itu mah kamu, Lin. Gara-gara tidak diijinkan cuti, ya?” selorohku kepada Alin.
Usia kandungannya yang sudah menginjak tiga puluh dua minggu memaksanya untuk istirahat. Tapi entah alasan apa, Pak Hans belum menacc pengajuan cutinya.
            “Terus saja meledek. Gih sana berangkat sebelum hujan angin.”
            “Iya, Neng. Lagian masih jarang hujan juga kali.”
Matahari masih mentereng di atas kepala. Jilatannya hari ini lebih tajam ketimbang pisau kepunyaan tukang begal sapi. Dan seragamku yang berwarna merah pun sudah bau kecut sejak sejam lalu. Tapi tak apalah, paketanku tinggal sedikit jadi harus dibetah-betahin dengan parfum alami badanku. Kamu kuat, Ris.
***
            “Cahaya sudah tidak tinggal di sini lagi, Mas. Balik ke kampung halamannya. Wonogiri.”
            “Oh, saya kira Mbak itu tinggal di sini,” sanggahku.
Kali ini aku mengantar sepucuk surat beramplop deragem dari pengirim yang berada di pulau seberang.
            “Kalau begitu, saya titip surat ini kepada Ibu, nggih?” imbuhku.
            “Jangan, Mas. Cahaya tidak akan balik lagi ke sini. Dia akan mengurus jenazah adiknya yang meninggal saat bertugas menjadi dokter muda di Minas.”
            “Apakah Ibu tahu alamat rumahnya di Wonogiri?”
            “Kurang tahu, Mas. Maaf saya pamit masuk rumah dulu. Anak saya sedang tidur jadi takut terbangun dan tidak ada orang di sampingnya. Mari!”
            Diriku terpaku dari balik pagar. Tangan kananku masih memegang surat dari Surya yang entah siapanya Mbak Cahaya itu. Sekarang, apa yang harus aku lakukan?
            Tanpa perlu lagi komando, jari telunjuk dan jempolku berkerjasama membuka perekat dari amplop tersebut. Lancang! Logika berkata demikian. Tapi apa daya, kekepoanku mengalahkan segalanya. Mungkin mereka yang coba-coba dengan dunia kelam awalnya juga dari hasrat seperti diriku sekarang tapi malah berakhir kebablasan.
            Perekat dari ujung satu ke ujung yang lainnya pun terbuka. Sebuah kertas garis biasa dengan merk di bagian bawahnya yang lazim digunakan anak sekolah menjadi titik perhatianku. Ini bukan surat dari anak SD yang sedang menyatakan suka, kan?
Minas, 3 Oktober 2015
            Assalamu’alaikum, Mbak. Bagaimana kabar di Solo sana? Salam untuk Budhe In yang bersedia menemani Mbak pindah kos karena ketahuan Mas Handoyo.
            Oh, ya, Mbak. Sepekan lagi tugasku di sini selesai. Jadi aku bisa segera menemani Mbak mengurus masalah perceraian dengan Mas Handoko. Aku ingin Mbak segera bebas dari hutang budi dengan keluarga mereka. Ini memang salahku yang menyebabkan Mbak menikahi laki-laki yang tidak Mbak cintai. Sekali lagi, aku minta maaf, Mbak. Aku baru sadar bahwa ada hal yang tidak perlu kita sentuh untuk membuatnya terasa ada. Yaitu cinta.
Tunggu aku pulang, ya, Mbak.

Dari Adik yang akan menjagamu,
Surya Anggara
           
Kenapa surat ini baru sampai sekarang? Seharusnya jika tidak terkendala, tiga hari yang lalu pesan dari Surya ini sudah dibaca Mbak Cahaya. Tunggu! Surya Anggara? Nama yang tidak asing. Ah, aku ingat! Dia dokter muda yang diberitakan meninggal karena berada di daerah endemik Sumatra. Ya Tuhan.
Wanita berwajah udumbara itu… kapan lagi aku bisa melihatmu?
--ooOOoo--
 Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan NulisBuku.com.

Minggu, 01 November 2015

KOMPETISI SAFETY FIRST BERSAMA NULISBUKU.COM


(HANYA) DIALOG

Sudah ratusan kali aku mendengar keluhan dari pengendara yang berlalu lalang siang ini. Panaslah, gerahlah atau debu yang beterbangan tidak karuan. Ini mah baru panasnya, bukan asapnya. Eh.
            Tapi, sama seperti mereka, akupun rindu dekapan sang mendung yang membelaiku dengan bulir-bulir hujan yang jernih.
            “Sudah berapa banyak, Merah?” sapa Kuning.
            Tiap harinya dia akan mengajukan pertanyaan yang sama. Dari mobil dan motor yang nekad melaju atau mengerem mendadak hingga melebihi garis zebra cross, pejalan kaki yang semena-mena berjalan tanpa menggubris rambu-rambu yang ada atau kakek nenek yang kesulitan menyeberang saking ramainya lalu lintas siang itu.
            “Kau ‘kan sudah hafal, Kuning.”
            “Yah, penonton kecewa. Aku pikir bakalan sebanyak orang utan yang tewas di hutan Kalimantan sana,” ujar Kuning kemudian.
            “Hei! Jangan ngomong sembarangan, Kuning. Musibah kok buat bercanda. Mau ikut-ikut mereka yang mengaku lulus sarjana tapi pemikiran tak lebih dari seorang durjana.”
            “Sorry, Merah. Keceplosan.”
            Obrolanku dengan Kuning menggantung ketika sepasang kekasih menghentikan laju motornya. Mereka tampak biasa dengan jaket kulit hitam lengkap dengan sepatu boot dengan warna senada.
            “Maunya sih sok gaya. Tapi nyawa jadi tidak berharga,” ujar Hijau dengan nada tinggi.
            “Biarlah kawan. Manusia itu memang kalau dilarang malah ngeyel. Sekali-kali emang perlu kena batu baru nyadar.”
            Dan hari di mana awan mendung enggan bersua dengan Bumi itu ditutup dengan sebuah kecelakaan tragis. Sepasang kekasih yang berkendara tanpa pelindung kepala tidak bisa mengerem tepat waktu ketika seekor kambing yang digembala bebas tiba-tiba menyeberang tanpa menyalakan lampu signnya plus tidak pakai helm pula. Keduanya terhempas dan terseret beberapa meter dari tempat kejadian. Bahkan mereka belum sadar diri saat dibawa ke rumah sakit oleh warga sekitar yang masih memiliki simpati.
***
            “Aku tetap merasa kasihan dengan korban kemarin. Walaupun itu akibat kecerobohan mereka sendiri, sih,” ucap Hijau mengawali obrolan mereka pagi ini.
            Hari ini, mentari masih belum galak menyengat Bumi. Paling tidak ada beberapa awan putih yang ikut melukis siang dengan keanggunannya.
            “Pasti mereka kapok. Itupun kalau selamat,” timpal Kuning.
            “Hush, kalian ini. Baiknya kita doakan saja mereka tidak mengalami luka yang parah. Aamiin.”
            “Aamiin,” kompak Kuning dan Hujan menjawab.
            Selang beberapa menit kemudian, tanpa ada tanda-tanda, hujan turun dengan lebatnya. Sesekali aku mengusap wajahku agar para pengendara tidak kesulitan melihat cahayaku yang berpendar saat jarak pandang makin menipis. Begitu pula dengan si Kuning dan Hijau. Mereka terus mengeluh karena tetesan hujan mengaburkan pancaran sinar kuning dan hijau kepunyaan mereka. Dalam keadaan seperti ini, manusia harusnya ekstra berhati-hati. Tapi dari yang aku lihat, malah kebalikannya.
            “Ini sudah ketiga kalinya dalam setengah jam ini. Mereka mengabaikanku, Merah,” keluh si Kuning.
             Dia terlalu marah karena pengendara acap kali tak menganggapnya ada dengan terus melajukan motornya walau rambu si Kuning menyala.
            “Dan ini yang keempat, Kuning.”
            Tempat setelah si Hijau berucap, motor matic berwarna hitam dengan corak kuning terpeleset. Ia tidak sanggup mengendalikan kuda besinya dalam track basah. Sejauh yang kulihat tadi, ia malah terus menambah kecepatan ketika detik hijau menunjukkan angka nol. Untungnya jalan dalam keadaan sepi sehingga tidak ada kendaraan lain yang ikut menghantamnya dari arah berlawanan. Namun, kudengar pengemudi tersebut mengerang kesakitan, bersahutan dengan tetes hujan yang makin intens jatuh ke tanah.
            “Haha… Lagian, sih. Sudah tahu merah malah mengebut. Ya begitu, deh, hasilnya,” ledek si Kuning.
            Aku mendengus kesal. Mungkin karena efek sering dicuekin, kadar simpati dan empati dalam dirinya ikut berkurang. Menyalahkan orang lain memang lebih enteng ketimbang melihat kekurangan diri sendiri. Aku sering membahasnya bersama Kuning dan Hijau. Namun, kelihatannya itu belum bisa masuk dalam pola pikir Kuning. Sukar juga sih mengubah pola pikir seseorang yang sudah mengakar. Termasuk aku.
            “Tapi dia baik-baik saja. Syukur deh,” ucap Hijau.
            “Kamu membela dia, Hijau?” tanya Kuning.
            “Bukan begitu. Manusia itu tidak seperti kita. Benda mati yang bisa diperbaiki apabila rusak. Mereka itu bernyawa. Sekali saja meninggal, tidak ada lagi kesempatan untuk menghirup oksigen. Sungguh ironis jika mereka harus kehilangan nyawa karena kecerobohan-kecerobohan kecil tanpa sengaja.”
            “Mereka saja tidak peduli dengan kesempatan hidup itu,” sanggah Kuning.
            “Karena kita hanya melihat dari satu sudut pandang saja,” imbuhku.
Ini timing yang pas untuk bicara pelan-pelan dan menjelaskan semuanya kepada kawanku ini. Semoga dia paham.
“Masih ingat kecelakaan sepasang kekasih kemarin, Kuning?”
“Aku selalu hafal para pelanggar lalu lintas. Tidak perlu kau ragukan ingatanku tentang ini,” sulut Kuning.
“Mereka tidak membawa helm bukan berarti mereka tidak ingin. Mungkin sebelum sampai di perempatan sini, helm yang mereka bawa bisa saja dicuri.”
“Ah, itu ‘kan hanya perumpamaan kamu saja, Merah. Mana ada kemungkinan seperti itu. Mustahil.”
“Tepat sekali. Aku tidak akan membenarkan tindakan mereka yang tidak mengenakan helm ini. Aku hanya ingin mengatakan bahwa permasalahan tidak hanya dilihat dari kedua bola mata kita. Tapi juga pandangan dari orang lain.”
Kuning terdiam. Ah, ini pertanda bagus. Paling tidak, ia mau mendengarkan omonganku sampai selesai. Hijau pun terlihat serius mengamati mimik bibirku. Seolah tidak boleh ada kata yang terlewat untuk ia dengarkan.
Kebisuan di antara kami bertiga pecah saat angin yang berkecepatan seratus lima puluh knot bertiup dari utara ke selatan. Tenaganya berhasil meliukkan kerangka besi tempat kami disangga. Bahkan papan reklame sebesar tujuh meter ikut menari ketika angin tersebut datang. Kulihat beberapa pengendara motor takut untuk melanjutkan perjalanan mereka. Walaupun dalam hitungan jari masih ada yang nekad melaju. Bahkan lebih parahnya lagi menerobos lampu merah yang masih menyala. Tidak terkena hujan nomor satu dan nyawa adalah nomor dua. Miris
“Eh!” seru Hijau.
Aku melirik ke arahnya diikuti Kuning. Tidak biasanya si kalem itu berteriak hingga terdengar walau hujan sedang turun dengan derasnya.
“Ada apa, Hijau?” tanyaku dan Kuning bersamaan.
“Lampuku tidak bisa menyala. Bagaimana ini, Merah, Kuning?”
“Jangan-jangan ada kabel yang korsleting. Gawat! Padahal keadaan sedang tidak karuan gini,” jawab Kuning. Sekilas kulihat raut kekhawatiran yang tulus memancarkan dari wajahnya.
Aku sendiri terdiam. Percuma jika berucap tapi tidak bisa memberikan solusi apalagi malah memperkeruh keadaan.
“Lho! Punyamu juga, Kuning!” teriak Hijau sambil menunjuk Kuning.
“Sial! Apa yang bisa kita lakukan, Merah? Bagaimanapun aku ingin mencegah terjadinya kecelakan di tengah guyuran hujan ini?”
“Merah! Lampumu juga sudah mati sekarang,” seru Hijau lagi.
“Tidak ada yang bisa kita lakukan, Kawan. Kali ini, Tuhan sedang menguji kita.”
“Menguji? Maksudmu, Merah?”
“Kita sudah merasa terlalu sombong dengan mendikte manusia mana yang salah dan mana yang benar. Seolah-olah kita tidak pernah melakukan kesalahan. Dan sekarang, kita hanya akan menjadi penonton di perempatan ini tanpa bisa berbuat apa-apa sampai manusia memperbaiki kita.”
“Tapi, bagaimana kalau terjadi kecelakaan beruntun seperti yang pernah kita dengar dari sopir truk yang bercakap dengan kawannya kemarin?”
“Jalanan lebih kejam dari medan pertempuran, Kuning. Di sini teman dan musuh sama saja. Jika tidak ada toleransi antara pengendara, semuanya sia-sia. Dan semoga manusia sekarang masih mempunyainya.”
--ooOOoo--


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Tertib, AMan, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.”