SURAT BUNGA EDELWEIS
Oleh:
Ayatin Anisa
Email pertama
Dear seseorang
yang pernah menjadi sahabat terbaikku ... Narya.
Pernah
terlintas dalam benakku untuk marah dan benci karena kau telah mengembalikan
semua bunga pemberianku, semuanya ... Dari mawar merah, mawar putih, mawar
kuning, lili, matahari dan bunga lainnya. Saat itu aku benar – benar
membencimu... Kalau bukan karena Chita, tentu aku takkan lagi pernah
menghubungimu, menghubungi sahabat kecilku.
Kau
masih ingat pertama kali kita bertemu, memperebutkan setangkai bunga edelweis,
bunga pertama yang mekar bulan April itu. Mungkin bagimu, pertemuan itu tak
begitu berkesan. Bagiku waktu itu takkan terlupakan karena kau berhasil merebut
bunga itu dariku. Kau anak gadis pertama yang bisa mengalahkanku berkelahi. Padahal
waktu itu umurku 10 tahun dan kau baru 8 tahun. Aku benar – benar kaget dan
tidak menyangka... tak ingatkah kau tentang itu?
Satu
tahun berikutnya, tahukah kau, setelah sholat Subuh aku tak sabar untuk segera
mengambil bunga edelweis di tempat itu. Dan aku terlambat. Sekali lagi kau
mengambilnya. Hari itu aku ingin benar – benar memukulmu. Tapi ketika kau
tersenyum padaku seakan – akan kau mengucapkan terima kasih padaku... amarahku
mencair.
Hal
lain yang membuatku penasaran adalah karena tak ada seorang temanku yang
mengenalmu bahkan kedua orang tuaku. Kata mereka tak ada anak gadis di sekitar
bukit itu. Tentu saja aku tidak percaya karena aku benar – benar melihatmu
mengambil bunga edelweis ku.
Narya,
aku benar – benar minta maaf!
Email kedua
Dear Narya
Bagaimana
kabarmu di sana? Sudah satu bulan setelah email pertamaku. Dan ternyata kau
tidak juga membalasnya. Aku hampir putus
asa untuk minta maaf kepadamu tapi lagi – lagi Chita menyemangatiku untuk tidak
menyerah. Katanya ingat lagu D’massiv aja. Haha, dia benar – benar anak yang
lucu. Aku akan mengenalkannya padamu.
Masihkah kau
membenciku?
Taukah
kau Narya, dua hari setelah kau mengambil bunga edelweis ku, aku mencarimu di
sekitar bukit. Begitu seterusnya sampai tujuh hari, aku tidak menyerah. Tapi
kau tak juga ku temukan.
Tahun
berikutnya di bulan April aku ingin sekali bertemu denganmu. Memastikan kau itu
benar – benar ada bukan hanya karangan ku belaka. Pukul 05.00 aku berangkat
dari rumah dan sesampai di sana aku masih melihat bunga edelweis itu
ditangkainya. Rasanya aku ingin menangis, membayangkan kalau kau tidak nyata.
Tapi sesaat kemudian kau datang dan tersenyum padaku. Aku lega sekaligus
khawatir jika kau mengambil bunga edelweis itu lagi.
Terima kasih
untuk saat itu Narya.
Email
ketiga
Narya,
sahabatku
Ini
adalah email terakhirku. Aku benar – benar minta maaf karena telah merusak
bunga edelweis yang telah kau ambil. Jika saja aku tahu kau mengambilnya untuk
kakakmu, aku akan merelakannya karena kakakmu lebih penting daripada egoku.
Semoga kau bisa
memaafkanku. Terima kasih untuk semua.
Sampai jumpa
Narya Zukrufi
Setelah mengirim email terakhir itu, aku
bersiap – siap menuju tempat di mana edelweis itu berada. Sudah satu tahun
berlalu sejak aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke kota. Dua jam
perjalanan terasa begitu cepat.
Dan sekarang aku sudah berada tepat di
mana aku dan Narya bertemu. Tanaman edelweis itu masih ada. Kuat dan
terkalahkan oleh rumput ilalang di sekitarnya. Udara di tempat itu tak jauh
beda dari lima tahun yang lalu. Segar dan seakan – akan semua masalah ikut
terbang terbawa angin. Beda dengan keramaian di kota yang selama ini ku
tinggali. Tapi sesaat kemudian ketenangan itu berubah setelah ku lihat
seseorang duduk tak jauh dari tanaman edelweis.
” Narya?”. Spontan aku menyebut gadis yang duduk
itu dengan nama Narya.
Gadis itu menoleh ke arahku dengan tatapan
bingung. Tak salah lagi dia benar – benar Narya.
”Kamu ... Egi?”. Gadis itu giliran bertanya
padaku.
”Kamu beneran Narya? Akhirnya ketemu juga.”
” Ehm... maaf kamu salah orang. Aku bukan Narya
tapi Nayla, adik kembarnya Narya”.
”Adik kembar?”
Tentu saja aku makin bingung. Tak menyangka
ternyata Narya punya adik kembar, setau ku dia hanya punya kakak perempuan.
”Lalu di mana Narya sekarang? Aku ingin minta maaf
secara langsung padanya”.
”Ehm... maaf Egi. Aku belum bisa menjelaskannya
sekarang. Beri aku waktu. Seminggu lagi akan ku beritahukan semuanya. Aku
mohon. Aku harus pergi”.
”Tapi Nay, ...”
Lagi, Narya membuat ku penasaran. Seminggu
lagi? Bisa – bisa aku tidak tidur selama seminggu. Aku takkan menyerah untuk
menunggu kabar tentang Narya. Tapi seminggu setelah hari itu Nayla tak ada
kabar . Padahal aku harus segera kembali ke kota. Akhirnya pagi itu ku putuskan
untuk kembali ke kota. Dua jam perjalanan itu terasa lama bagiku.
Sesampai di kos aku benar – benar capek
dan spontan aku tertidur. Dua jam kemudian aku terbangun lalu sholat Dhuhur.
Usai sholat, perasaan ku berkata bahwa aku harus membuka emailku sekarang. Ku
buka laptopku dan ku sambungkan ke jaringan internet. Ku buka gmail.com dan
kuketik nama email ku lalu sign in. Di kolom inbox ku lihat email Narya.
Spontan kubuka dengan rasa tidak sabar.
Untuk Egi
Apriansyah, sahabat terbaik Narya Zukrufi
Maaf karena
hanya bisa memberitahumu lewat email. Aku tidak sanggup memberitahumu secara
langsung.
Aku adalah
Nayla. Selama ini aku lah yang menerima semua emailmu.
Narya tidak
pernah membenci mu. Ia selalu berkata dengan wajah riang ketika bercerita
tentang perkelahian kalian merebutkan bunga edelweis di bulan April.
Kami adalah
kembar. Narya adalah anak tomboi yang suka berkelahi. Tapi dibandingkan aku,
badannya lebih mudah sakit dan dia masih saja sok melindungiku.
Dua bulan
setelah kalian bertemu, Narya tiba – tiba demam tinggi. Ayah dan ibu bingung sekaligus
kaget karena tak biasanya seperti itu. Seminggu dalam keadaan koma ternyata
Allah tak mengijinkanku untuk bersamanya lagi. Dia pergi ...
Sebelum dia
pergi, ia berkata padaku : ”Nay, jangan sampai Egi tahu ya ...
Jadilah aku
yang selalu berebut edelweis dengannya. Aku gag ingin dia merasa kehilangan
sesuatu walaupun aku gag tahu apakah aku berarti baginya”.
Tahun
berikutnya, aku menggantikan Narya berebut edelweis denganmu. Dan ingatkah kau
Egi, yang tersenyum waktu itu adalah aku, bukan Narya ... dan saat aku bilang
bunga edelweis itu untuk kakakku, sebenarnya itu untuk Narya.
Maaf baru
memberitahumu sekarang. Ini adalah janjiku pada Narya
Dan terima
kasih masih menganggap kakakku sebagai sahabat terbaikmu. Dia pasti sangat
senang mengetahuinya.
Kabar ini tak
pernah ku kira sebelumnya. Betapa bodohnya aku. Tak pantas bila aku disebut
sahabat terbaik Narya.
Edelweis memang
bukan bunga berwarna – warni
Tak pula
menawan
Juga bukan
bunga mahal
Tapi berkat dia
aku bertemu dengannya
Hanya sekali
saja aku bertemu
Dan aku yakin
dia akan menjadi sahabat terbaikku
Walaupun bukan
waktu yang tepat untuk saat ini,
Narya Zukrufi