MEMELUK
ANGKA NOL DI MERCUSUAR ZM WILLEM
oleh: Anisa Ay
Mencarimu
ibarat menaiki Mercusuar ZM Willem. Butuh beribu – ribu kalori untuk menaiki
tangganya yang terdiri tujuh belas lantai. Dan kini, aku seperti terdampar di
Pantai Sembilangan, menghirup oksigen yang tidak bisa dihirup, menatap awan
yang tidak bisa dilihat dan mendengar deburan ombak yang tidak bisa aku rasakan
debarannya.
“Lui,
sudahlah hentikan! Kau hanya mencari kekosongan.”
“Tanpa
angka nol, matematika tidak pernah punya arti, bukan?” jawabku memaksakan diri.
Aku hanya membumbungkan egoku tanpa tahu ke mana ia hinggap.
“Kau
memang benar. Tapi kau perlu ingat satu hal, angka nol-lah yang membuat
ketakhinggaan pada harapanmu. Karena angka sebesar apa pun, tetap hasilnya tak
hingga bila dibagi dengan angka nol.”
Wei,
teman sekamarku, mungkin sudah lelah lesu lunglai menghadapiku. Ia selalau
mendorongku ke jurang putus asa. Baru kali ini aku mendapati ada teman yang
menyuruhku untuk menyerah. Tapi aku setuju dengan jawabannya. Jika aku
berhenti, maka aku akan berlabuh di dermaga yang berbeda dengannya Wei, kau
mengerti bukan? Aku ingin berlayar ke tempat ia bertahta.
Kehadiran seseorang yang berarti
dalam hidup adalah candu yang tak akan pernah tergantikan oleh segepok
kesenangan.[1]
***
Mentari
masih enggan memeluk pagi. Begitu pun aku yang terlalu mencintai bantal
bermotif bunga matahari lengkap dengan guling kesayangan yang sama sketsanya.
Di luar jendela, bulir – bulir embun membuat lukisan nan sempurna bersama
gerimis pagi ini. Yah, hujan di pertengahan bulan Maret.
“Lui!
Kau tidak lupa agendamu hari ini, kan?” teriak Wei sambil menggoyang –
goyangkan tubuhku yang masih lengket di kasur.
Kurang
kerjaan sekali Wei ini, membuat gempa di kamarku pagi buta seperti ini,
batinku.
“Lui!”
kali ini, ia memberikan bom atomnya tepat di telingaku, membuatku terperangah
dan harus membuka mata. Paling tidak, ia akan diam untuk semenit saja.
“Akhirnya
kau bangun juga. Cepatlah mandi sana, jika kau tidak ingin kehilangan rombongan
bus.” Wei berlalu meninggalkan ranjangku. “Dan ingat, rapikan selimut yang
penuh dengan bekas liurmu itu,” pintanya sembari menutup pintu kamar.
Ada
– ada saja dia, mana mungkin aku membuat pulau di selimut kesayanganku selama
dua hari ini. Dia pasti mengigau. Namun, untuk pertama kalinya, aku mempercayainya.
Ya… aku menemukan sebuah pulau di selimutku. Sama halnya seperti Bandung
Bondowoso yang membuat seribu candi dalam semalam, aku pun menciptakan pulau
dalam waktu yang singkat. “Aku memang jorok!”
Seberkas
sinar matahari kini telah berani menghangatkanku di atas ranjang. Sambil
mengucek mataku yang malas terbuka, ku cium udara pagi yang sarat oksigen.
Paling tidak, aku telah memberi paru – paruku sarapan yang sehat.
”Memangnya
ini jam berapa? Kenapa Wei seperti ulat yang bergoyang dumang tidak karuan
seperti itu?” pandanganku mengitari kamar yang luasnya setengah dari kamarku di
rumah. Memang tidak lebar, tapi cukuplah untuk aku dan Wei merebahkan penat
usai mengambil data observasi di desa ini.
Di saat kita bersama
Di waktu kita tertawa
Menangis
Merenung
Oleh cinta
Nada
dering smartphoneku bersenandung. Membuyarkan pencarianku. Dan sekarang, aku
lupa menaruh benda ajaib selebar lima inchi tersebut.
Ku coba hapuskan rasa
Rasa di mana kau melayang jauh dari
jiwaku
Juga mimpiku
Biarlah – biarlah
Dirimu dan diriku
Terbelenggu satu oleh ucapan
manismu
Sial!
Kenapa di saat genting seperti ini semua terasa berantakan. Akunya yang ceroboh
atau keadaan yang sedang memusuhiku?
Lirik
lagu Kita dari Sheila On 7 kembali bersenandung dan membuat pikiranku semakin
tidak karuan. Aku membolak balik selimutku yang sudah ku lipat dengan rapi
sebelumnya, membanting bantal guling dan membiarkan mereka beradu dengan
lantai. Namun, aku masih belum menemukannya.
Semenit
kemudian, aku tak lagi mendengar suara Mas Duta. Mungkin yang di seberang
telepon sana sudah enggan menanti jawaban panggilan dariku.
“Lui! Kau masih belum bangun?!” Wei kembali
memasuki kamar dengan menyodorkan wajah pembegal. Siap memangsa korban di
depannya.
Wei
bengong. Ia kaget melihat pemandangan di depan pelupuk matanya kali ini. Baru
lima menit ia tinggalkan, seakan telah terjadi komplikasi besar antara tsunami,
gempa bumi, badai Catrina dan gunung meletus di dalam kamar. Bagaimana tidak,
ranjang kepunyaannya yang bersih seperti piring yang telah dicuci dengan
Sunlight, sekarang seperti bak sampah yang telah diaduk – aduk pemulung.
Berantakan.
“Kau
dendam padaku, ya? Atau ingin membuatku jantungan di usia muda?” tanya Wei
sekenanya.
Aku
pun hanya bisa menyengir kuda.
“Ah,
sudahlah Lui. Kita harus menemui sesesorang. Segera!” perintah Wei seperti
seorang jenderal kepada anak buahnya.
“Aku
tidak mandi nih?” tanyaku penuh keraguan. Dia tidak benar menyuruhku keluar
dengan bau kecut plus asam ini, kan?
Dengan
sigap, aku mengambil baju gantiku pagi itu. Kaos lengan panjang berwarna tosca
bermodel penguin dengan rok brukat hitam yang aku beli sebelum berangkat ke
sini. Tampaknya ini akan sedikit menutupi ketidakmandianku. Dan tidak lupa
sedikit aku taburkan bedak baby dan parfum melati kesukaanku. Sempurna.
“Kau
memang pandai menipu. Ha ha ha!” tawa Wei membahana ke seisi kamar. Aku balas
tawanya itu dengan lirikan tajam. Menusuk dan menyayat tempat di jantungnya.
“Maaf - maaf Lui. Oke aku revisi. Kau pandai
menghias diri. Sekarang kau puas, kan?”Aku hanya membisu. Tak perlu lah
menanggapi keisengannya di saat emosiku sedang memuncak.
***
“Kau
serius untuk ini Lui?”
Wei
mendaratkan bola mata coklatnya ke arahku. Mengisyaratkan tanya yang harus
dijawab sekarang.
“Reky
Oasis namanya. Dia dikabarkan menghilang sejak kecelakan pesawat Air Asia
kemarin. Dan tadi … aku melihatnya.”
“Jadi
maksudmu, Reky sengaja menghindar atau bagaimana?” tanya Wei yang masih bingung
dengan pernyataanku barusan.
“Sepertinya
begitu. Keluarganya memang tidak menyetujui hubunganku dengannya.” Berat
tenggorokan ini untuk bercerita kepada Wei tentang kisahku. Aku tidak menyangka
bahwa orang yang akan membantu penelitian kami di kampung garam ini adalah
Reky, kekasihku yang katanya dikabarkan meninggal.
Yah,
dia dan keluarganya dengan apik telah membuat skenarionya yang tanpa cidera
sedikit pun. Ingin sekali membuang siluetnya bersama ombak Pantai Sembilangan.
Namun, aku hanya mendapati tubuhku yang lengket dipeluk asinnya air laut.
Bagaimanapun juga, membuang tak selamanya berarti menghilangkan.
--END--
[1]
dikutip dari Novel Lemannequin karya Mini GK
Cerpen ini
dikutsertakan dalam tantangan @KampusFiksi dengan tema #MeminjamKata
Solo, 15 Maret
2015 15:06
Tidak ada komentar:
Posting Komentar