BODO
AMAT
Oleh:
Anisa Ay
Ketika
angin hanya dirasa dan langit hanya dilihat. Maka manusia tak memerlukan kelima
panca inderanya, bukan?
***
Pertengahan
bulan Januari ketika awan mendung seperti biasanya menganopi bumi.
“Gue
baru aja denger tadi kalo ada tindak pemerkosaan di angkutan bro!” ujar si
cowok berambut belah tengah yang mirip Jimmy Lin, aktor tahun 90-an dari
Taiwan, kepada rekan mengopinya pagi ini.
“Emang
cewek loe yang jadi korban?” sahut cowok satunya masih sibuk mengunyah mendoan
terakhir yang tersisa di atas lepek.
“Amit-amit, deh. Kok loe cuek gitu sih.
Ini berita lagi heboh, Ceng.”
“Bodo
amat. Tuh korban ma pelakunya juga bukan saudara gue!” seru Aceng. Lepek yang tadi penuh dengan mendoan dan
bakwan, kini sudah kosong digantikan angin pagi. Ah, tapi apalah guna angin itu
berhembus. Toh, mayoritas orang apatis kepadanya.
“Gimana
kalo itu terjadi ama keluarga loe? Masih bodo amat juga?”
“Haha…
gue udah kagak punya keluarga lagi, Dul!”
***
“Baca
apaan loe? Serius banget, Don!”
“Ini, Ceng. Koran bekas bungkus
gorengan tadi ternyata ada berita yang bikin miris. Ngerilah pokoknya!”
“Kenapa lagi emang? Itu sih
pintar-pintarnya wartawan ngarang berita. Jangan mau dikadalin! Udah sering
kita digituin ama pemerintah!” pekik Aceng yang baru saja menyelesaikan
seruputan terakhir es tehnya.
“Loe itu kelewat tak acuh, Ceng. Ada
anak kecil dibunuh aja, sama sekali kagak ada rasa simpatinya.”
“Bodo amat. Mereka aja juga kagak
peduli ama nasib pekerja serabutan kayak gue gini. Jadi buat apa gue ambil
pusing urusan mereka.”
Gendon yang masih kongko-kongko di
atas jok motornya geleng-geleng tidak percaya. Ada juga ya, manusia yang apatis
dengan keadaan sekitarnya, gumamnya dalam hati. Mungkin beberapa tahun ke
depan, guru biologi akan kebingungan menjelaskan perbedaan simbiosis
mutualisme, komensalisme dan parasitisme. Atau lebih parahnya, bab itu akan
terhapus dibawa pergolakan zaman yang semakin angkuh menyombongkan
kemampuannya. Manusia semakin egois.
***
Duer!
Tabrakan antara ibu rumah tangga
dengan tukang becak tak terelakkan lagi. Beberapa orang yang tengah sibuk
mengunyah menu makan siang mereka bak diberi tontonan gratis. Namun, jika bisa
memilih, mereka tentu tidak ingin melihatnya.
Dua tiga orang yang sedang
berlalulalang menghentikan langkah mereka, menengok peristiwa apa yang baru
saja terjadi. Hampir semua warga yang melihat hanya mematung. Tak ada satu pun
yang beranjak untuk berusaha menolong. Hingga seorang laki-laki yang mengaku
sebagai anak si tukang becak, yang juga tukang parkir di sekitar tempat
kejadian perkara, berteriak histeris meminta tolong siapa saja yang masih punya
rasa empati di hatinya.
Tiga empat menit berlalu. Tak ada
yang berubah. Semua orang masih membatu. Baru setelah si anak mendekati salah
seorang warga dan menariknya untuk membantu mengangkat sang ayah, beberapa
laki-laki tanpa disuruh ikut menolong. Tak lebih dari lima belas menit
kemudian, kedua korban sudah dibawa ke rumah sakit terdekat.
***
“Eh,
Ceng! Gue baru dapat berita hot nih!”
“Apa lagi? Aktris inisial BS nikah
lagi? Atau ada gempa di salah satu pulau tak bernama milik Indonesia?” jawab
Aceng ogah-ogahan. Paling-paling berita yang sengaja dibuat heboh sebagai
pengalihan wacana.
“Bukanlah! Itu tadi di depan pasar
ada tabrakan tukang becak dengan ibu gendut. Keduanya luka parah. Sekarang baru
aja dibawa ke rumah sakit.”
“Bodo amat. Kayak gitu loe bilang hot? Panasan juga kopi pahit gue ini,”
tunjuk Aceng pada segelas kopi kental pahit yang sudah tersaji sebelum kawannya
itu tadi datang.
Drrt…drrt…drrt.
Smartphone kepunyaan Aceng bergetar.
Sebuah pesan di whatsapp masuk. Dari kakak laki-lakinya.
Ayah tabrakan. Cepetan
ke sini. RS Cipta Sehat. Segera!
--ooOOoo--
Pesan
yang ingin disampaikan adalah semoga dengan cerpen ini tak ada lagi robot-robot
berhati dingin yang bersemayam di hati setiap manusia. Hingga takkan lagi
tercipta mesin-mesin egois dalam diri anak-anak kelak. Aamiin.
Solo, 23 Juni 2015
22:19
Tulisan ini diikutsertakan dalam
tantangan @kampusfiksi dengan tema #PesanMoral
Tidak ada komentar:
Posting Komentar