DAFA
½
Oleh:
Anisa Ay
“Kelak, dua puluh tahun yang akan
datang sebelum kiamat tiba, manusia juga bakalan musnah dengan sendirinya.”
“Bagaimana mungkin? Setahuku
populasi manusia di dunia tumbuh
dari tahun ke tahun,” sanggah Difa yang masih duduk di sampingku. Sekilas dari
balik lensa cekungku, aku melihat matanya teduh memandangiku. Sial, aku tidak
kuat kalau melihatnya terus menerus.
“Kau pernah baca Inferno-nya Dan
Brown?” tanyaku kepada Difa.
“Belum. Kenapa memang?”
Sudah bisa ditebak. Gadis ini memang
suka baca tapi paling banter cuma novel teenlit
yang mendayu-dayu. Kalau happy ending, dia bakalan cerita heboh,
mengalahkan gempa bumi berkekuatan tujuh skala richter. Tapi, ini nih, yang
paling aku benci. Dia bakalan menangis tersedu-sedu jika tokoh utama favoritnya
dimatiin ama penulisnya. Hfuh.
“Segala sesuatu yang berlebihan itu
tidak pernah baik, kan? Salah satunya, ya, penduduk dunia yang membludak ini
seperti teori yang dikemukakan Malthus.”
“Kau tidak akan bertindak
macam-macam ‘kan, Daf?” ujar Difa.
Aku
kagum akan kemampuannya yang satu ini. Ia seolah bisa membaca mimik dan gerak
tubuhku. Padahal setengah mati aku berusaha menguburnya. Atau semua perempuan memang punya kemampuan ini?
“Jangan terlalu mengkhawatirkanku.
Aku akan memikirkanmu beribu kali sebelum melakukan hal yang aneh. Tenang saja,”
hiburku. Semoga basa basi ini berhasil mengelabuinya.
Semburat lukisan cantik tersketsa di
wajah tirus Difa. Lesung pipit yang bertengger menyempurnakan pesonanya di
mataku. Ah, lelaki mana yang bisa berkutik kalau di dekatnya. Beruntunglah aku
sebagai laki-laki yang ia sayangi.
Namun,
tanpa alasan yang jelas, orang itu telah berhasil merekahkan rasa kagum dengan varian rasa yang berbeda ketika
bersama Difa.
“Cie! Gini, nih kalo udah berduan.
Gue ditinggalin di lapangan basket!” seru Dion.
“Apa sih?” jawab Difa dengan raut
wajah malu-malunya. Dion malah semakin cekikikan.
“Ngomongin apa nih? Loe gak mau
ngebom sekolah ini, kan?” ucap Dion sembari merangkulku dari belakang. Oh, no. Jangan sampai degup jantungku ini terdengar
di telinganya.
“Itu mah maunya kamu, kan? Biar bisa
bolos seumur hidup,” timpalku sekenanya.
Tuhan,
aku tidak ingin waktu berlalu begitu cepat. Diapit oleh dua orang yang
kucintai, kegembiraan apalagi yang boleh kupinta selain itu?
***
“ Loe cuma bercanda, kan, Daf?”
“Aku ‘kan hanya bilang, enak ya
kalau jadi Ranma ½ , terkadang bisa jadi laki-laki dan kalau pun ingin jadi
perempuan, tinggal nyeburin badannya ke kolam.”
“Gue mah ogah. “
“Tumben. Anak alas kayak kamu mau jadi anak baik-baik.”
“Haha… gue bakalan mikir beribu-ribu
kali untuk menjadi abnormal kayak yang loe bilang barusan. Karena yang nentuin hidup
gue bukan cuma gue aja.”
“Maka dari itu, Di. Ini salah satu
cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi peledakan penduduk dunia.”
“Busyet.
Ngomong apa sih loe? Ini masih tentang Inferno-nya Dan Brown yang loe obrolin
bareng Difa kemarin?”
“Untuk menebus keburukan, apalagi
yang bisa dilakukan kecuali dengan kebaikan?”
Lagi, aku lihat mata burung elang
itu menghujam tepat di jantungku. Rasanya, ingin kukubur geliat perasaan absurb
ini. Namun, tidak bisa. Oke, aku bohong. Sebenarnya aku memang tidak ingin
melakukannya. Biarlah ia dan Difa menjadi dua orang terkasih yang bersemayam
selamanya di relung hatiku hingga misi ini berhasil terlaksana. Segera aku
harus mengubah genderku. Bukan dengan operasi transgender yang biasa dilakukan di Thailand. Melainkan membiseksualkan
ketertarikanku. Saat dekat dengan Difa, aku harus mengubah diri menjadi Dafa
perempuan dan bertransformasi menjadi Dafa yang lain ketika di dekat Dion. Dengan
begitu tak ada lagi hasrat dan nafsu yang berkembang. Alhasil populasi manusia
bisa direm.
Misi siap dilaksanakan.
--ooOOoo—
Solo, 29 Juni 2015
21: 50
Tulisan ini diikutsertakan dalam
tantangan @kampusfiksi dengan tema #FiksiLGBT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar