KERLINGAN LING
Apa yang salah dengan rasa ini? Mereka
berdegup lebih kencang tanpa bisa aku rem atau gas seenak hatinya. Bahkan, Si
Einstein pun dapat kupastikan tidak dapat menjelaskan getar yang beresonansi
ini menggunakan rumus mc2-nya.
Aku tetaplah lelaki biasa.
***
“Pak
Ganteng, saya es krimnya yang rasa cokelat, ya?” pinta si gadis mungil dengan
bulu mata lentiknya.
“Siap,
Ling.”
Ling
pun membalas senyumanku dengan memamerkan giginya yang berbehel.
“Masih
menunggu orang tua kamu?” tanyaku sembari membuatkan es krim favoritnya, rasa
cokelat ditambah toping meses warna
warni di atasnya.
“Bisa
jadi, Pak Ganteng.”
“Kok
gitu? Mereka ada urusan?”
“Mungkin.
Sudah dua hari ini Ibu tidak pulang dan Ayah juga selalu menghilang tiap malam.
Entah pergi ke mana.”
Anak
ini kenapa nasibnya tidak jauh beda dengan diriku sewaktu kecil. Tanpa ada
orang dewasa yang mendampinginya tumbuh.
“Ini
es krimnya. Kalau nanti orang tua kamu belum datang, Pak Ganteng antar saja,
ya?” usulku kemudian.
“Sungguh?
Senangnya!”
Wajah
Ling kembali berseri. Efek es krim cokelat mungkin kali, ya. Atau malah
usulanku tadi? Dia memang secercah cahaya yang masuk ke dalam dunia gelapku.
Tujuh tahun sudah aku tak pernah merasakan detak jantung yang berdenyut lebih cepat dari biasanya. Tapi…
Ling itu hanya seorang anak kecil berusia 9 tahun. Tidak! Aku harus meredamnya.
***
Mendung
masih setia memeluk bumi dan mentari, ah, dia sudah pulang ke tempat hiatus
sejak setengah jam lalu. Efeknya, es krim jualanku hanya laku beberapa cup saja. Eh? Kenapa Ling ada di sini?
“Apa-apaan ini!? Siapa yang
melakukannya padamu, Ling?” ujarku dengan nada tinggi. Sialan! Beraninya ia
melukis lebam di wajah mungil Ling-ku.
“Tidak
apa-apa kok, Pak Ganteng. Ayah marah karena aku tidak menurut kepadanya. Dia
tidak ingin aku membangkang seperti Ibu,” ujar Ling sambil menahan isak
tangisnya. Namun sekilas, aku lihat bola bening itu tumpah di pipi tembemnya.
Matanya kini semakin sipit.
Kuraih
badan mungilnya dan kudekap ia. Ingin kusalurkan rasa sayangku seluruhnya. Aku
tak ingin membendungnya lagi. Tidak boleh ada lagi Liem versi perempuan.
“Kamu
boleh menginap di rumah Pak Ganteng jika mau?” tawarku kepadanya.
Bola
mata kelerengnya menatapku dalam. Seolah mencari perlindungan yang ia rindukan
dari keluarganya.
“Bolehkah
aku memanggil namamu?”
“Tentu
saja, Ling. Dengan senang hati,” ujarku sumringah. Tentu aku sudah mendambanya
beberapa bulan perkenalanku dengannya.
“Liem,
aku telah menemukan es krim rasa cokelat dari dalam matamu,” ujar Ling.
Aku
akan menantimu, Ling. Sepuluh tahun lagi aku akan meminangmu. Aku bukan mereka
yang terlalu kerdil mencintai tapi tidak sanggup menunggu waktu yang tepat
untuk memetik sang bunga.
Tulisan
ini diikutsertakan dalam tantangan @KampusFiksi dengan tema #FiksiPaedofil
Solo,
28 Oktober 2015
21:38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar