Penulis : Tere Liye
Editor : Triana Rahmawati
Cover : Resoluzy
Lay
out : Alfian
Penerbit : Republika
Cetakan
pertama : September, 2015
Jumlah
halaman : iv + 400 halaman
ISBN : 978-602-0822-129
Harga : Rp. 65.000,00*
“Inilah hidupku, dan aku tidak peduli
apa pun penilaian kalian. Toh, aku hidup bukan untuk membahagiakan orang lain,
apalagi menghabiskan waktu mendengar komentar mereka.” (Hal. 1).
Bujang, anak tunggal dari keturunan perawe dan Tuanku
Imam, diminta memilih untuk tinggal bersama Mamak dan Bapaknya di Bukit Barisan
atau ke kota provinsi bersama rombongan Tauke Besar. Dan isyarat anggukan
Bujang, mengalirkan bulir-bulir keikhlasan sang Mamak untuk melepasnya.
“Agar besok lusa, jika hitam seluruh
hidupmu, hitam seluruh hatimu, kau tetap punya satu titik putih, dan semoga itu
berguna. Memanggilmu pulang.” (Hal. 24).
Pergilah Bujang bersama Tauke Besar ke kota provinsi dan
tinggal dengan keluarga Tong lainnya. Di sana ia dipertemukan dengan Frans,
bule Amerika yang ditolong Tauke Besar. Frans menemukan kecerdasan Bujang
ketimbang tukang pukul lainnya. Ia “dipaksa” belajar oleh Tauke Besar. Tapi
bagi Bujang, menjadi tukang pukul adalah babak belur dalam perebutan wilayah
bukan berjibaku dengan soal-soal aritmatika, ekonomi dan lainnya.
Amok menjadi awal perjanjian Tauke Besar dan Bujang.
Sembilas belas menit bertahan dalam kepungan puluhan anggota Tong, membuat
Bujang harus rela belajar bersama Frans. Maka dimulailah perjalanan Bujang
menjadi tukang pukul yang tidak biasa. Kecerdasannya mengantar Tauke Besar dan
anak buahnya menguasai pasar “bisnis” di Indonesia. Bahkan ketika nama Si Babi
Hutan disebut, sang calon presiden ikut bergetar. Namun, apa yang terjadi
ketika tempatnya mengadu menghilang satu persatu? Mamak yang sembunyi-sembunyi
mengajarinya mengaji dan agama, meninggal tanpa sempat mengucap kata berpisah.
Samad, sang Bapak menyusul beberapa tahun kemudian. Kedua kabar duka itu datang
bersamaan adzan Shubuh yang
berkumandang.
Selanjutnya Tauke Besar yang melewati usia lima puluh
tahun mengidap beberapa penyakit yang berakhir pada kematiannya saat terjadi
pengkhianatan dari Basyir, anggota keluarga Tong yang ahli dalam “pemukulan”.
Bisnis Tauke Besar pun dikuasai Basyir dan Bujang tersingkir ke sebuah
pesantren kepunyaan Tuanku Imam (kakak Mamak) yang dulu merestui pernikahan
Bapak Mamaknya. Berdua bersama Tuanku Imam di atas menara masjid, Bujang
berusaha memaknai 1300 matahari terbit yang ia lewati. Untuk pertama kalinya,
adzan Shubuh terasa lembut di telinga Bujang.
Pulang menjadi novel kesekian kali Tere Liye yang menjadi
best seller. Mengangkat tema cinta (cinta Alllah, cinta orang tua, cinta
sesama manusia), tidak membuat novel bercover
hijau dengan gambar sunrise ini
menjemukan. Memakai POV 1 seolah pembaca menjadi Bujang, si tukang
pukul—profesi yang jarang diangkat menjadi sebuah cerita—perasaan kita
diaduk-aduk tak karuan. Dari sedih, senang, tangis, bahkan takut. Jelas di
novel ini Geografi, Ekonomi, Agama, Fisika disajikan dalam bentuk fiksi yang
tidak menggurui. Tere Liye selalu punya bumbu yang khas dalam meramu novel
cinta yang biasanya mendayu-dayu menjadi lebih berkelas. Hanya saja beberapa
adegan yang seharusnya tidak dilihat Bujang, bisa diungkapkan si tokoh utama.
Contohnya pada halaman 36.
Orang berkemeja putih lengan panjang terduduk di atas
kursi, mengembuskan napas. Ia meraih perlahan kartu nama putih di atas meja
jati, membaca namaku di atasnya, “Si Babi Hutan”, dengan empat angka di
bawahnya. Nomor telepon genggamku
Akan tetapi dari sekian novel Tere Liye yang saya baca,
novel ini menduduki peringkat pertama favorit saya. Sungguh sangat diharapkan,
menjamurnya novel romantic, novel seperti Pulang ini bisa muncul dari
penulis-penulis lainnya agar tema cinta tidak terkesan lembek.
“Sejatinya, dalam hidup ini, kita tidak
pernah berusaha mengalahkan orang lain, dan itu sama sekali tidak perlu. Kita
cukup mengalahkan diri sendiri.” (Hal. 219)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar