HARI
KEDUA PULUH TIGA DI BULAN JUNI
Ini bukan hari pertamaku kerja.
Tapi kebahagiaan ini, lebih semerbak ketimbang bunga sakura yang tengah
bermekaran. Tentu ini bukan tentang gaji di atas UMR ataupun jatah cuti tiap
bulannya. Ada hal yang kadang tak perlu kasat mata untuk dapat kita terima
keriangannya.
Kisah ini bermula di hari kedua
puluh tiga bulan Juni. Rumah nomor dua puluh tiga berpagar bambu dengan bunga
angsana yang anggun menyambutku. Dia berhasil yang memberikan sinar polikromatiknya dalam prisma
hidupku. Dialah sumber pelangiku.
Tok tok tok.
Tak lebih
dari lima menit, si empunya rumah sudah hadir di ambang pintu. Wanita yang kuperkirakan
umurnya tiga puluhan. Tanpa polesan make up, lekuk rupanya mengingatkanku
dengan Mentari, kembang desa yang kini malah menjanda. Dia ditinggal kabur
suaminya yang belakangn ini diketahui menggelapkan uang kantor. Memang, hidup
bukan sekadar materi.
“Ada apa, Tuan?” sapanya sejurus
kemudian.
Eh! Aku dipanggil tuan?
“Maaf, Mbak. Ini ada surat untuk
Mbak Cahaya”, jawabku.
Untungnya aku sudah membaca
terlebih dahulu namanya di paketan ini. Sebenarnya, akupun ingin memprotes
panggilannya padaku. Tapi toh buat apa? Paling kagak ketemu lagi.
“Terima kasih, Tuan. Mungkin
beberapa bulan ke depan saya sedikit merepotkan Anda,” pungkasnya di akhir
percakapan kami.
“Eh, maksudnya, Mbak?”
“ Maaf, maaf! Terima kasih atas
paketannya.”
Mbak yang memiliki pesona aphrodite itu memasuki kembali rumahnya.
Ada aura aneh ketika ia mengatakan hal yang demikian. Seperti ada benang merah
yang tak terlihat menghubungkan kami. Bodoh! Aku terlalu berlebihan. Tidak ada
cinta pada pandangan pertama. Aku mempercayainya. Begitu pula dengan Mbak
berwajah bunga udumbara tadi.
Hari ke lima belas bulan Agustus
Dua
hari lagi, genap enam puluh tahun negeri seribu asap ini lahir. Terbebas dari
penjajahan asing tapi masih terpuruk oleh orang-orang sendiri. Ah, terlalu
berat membicarakan masalah beginian.
“Aris,
ini bagian paketanmu untuk hari ini. Have
fun, ya?” seloroh Alin.
Aku
tahu persis dia mengejekku. Bukan karena rupaku sekumal tumpukan jerami atau
sekusut kain katun yang tidak bisa diseterika. Tetapi jatah paket dan
surat-surat yang harus kukirim lebih banyak ketimbang kemarin-kemarin. Dua
karung ukuran seperempat kuintal sudah menanti. Untunglah, Alin membantuku
memilah-milah alamat tujuan yang searah. Terima
kasih, Neng.
Alamat
ini? Seperti pernah ke sana sebelumnya. Ah, tentu saja aku pernah ke sana.
Bukankah ini pekerjaanku mendatangi rumah-rumah sambil membawakan pesan dari si
pengirim. Kadang kujumpai segurat senyum yang mengembang. Namun, tak jarang
pula kulihat pancaran bola mata si penerima meredup. Memang seperti inilah
episode kehidupan.
Umbul-umbul
sudah bertebaran di mana-mana. Dari jalan antarprovinsi hingga gang-gang tikus
yang bahkan untuk bersisian dua motor saja susah, masih dipaksakan untuk
dipasangi bendera merah putih di sisi kanan atau kirinya. Aku sih warga negara
Indonesia, tapi bukan begini caraku merayakan kemerdekaan. Pentok-pentok, seminggu
kemudian hanya tinggal angin yang menyapu gang sempit itu tanpa sedikit pun
tersisa doa dan harapan untuk negara ini. Ah, mengkritik memang mudah.
Mentari
sudah hampir sampai di batas horizon. Masih ada satu surat lagi yang harus
kuantar. Alamatnya cukup buncit dari tempat kerjaku namun searah dengan jalan
pulangku.
“Assalamu’alaikum,”
ujarku yang sudah terpaku dari balik pagar. Kenapa terasa tidak asing? Pasti
aku pernah ke sini sebelumnya.
Masih
belum ada sahutan dari dalam rumah. Kupencet untuk ketiga kalinya bel yang
terpasang di sudut kanan pagar bercat hijau itu.
“Wa’alaikumsalam.”
Sesosok
perempuan yang memakai jilbab bermotif bunga pink berjalan anggun mendekatiku.
Senyumnya terkembang. Loh! Dia wanita berwajah udumbara itu. Penampilannya
berubah seratus delapan puluh derajat. Hampir aku tak mengenalinya lagi.
“Tuan,
masih ingat saya?” tanyanya setelah jarak kami tak lebih dari dua meter.
“Mbak
yang dulu tinggal di daerah Mojosongo, kan?” ujarku keheranan.
Dia
mengangguk. Bola mata cokelatnya masih sehangat secup cappuccino yang biasa
aku seruput tiap malam.
“Ada
paket untuk saya, Tuan?”
“Iya,
Mbak. Tadi saya pikir saya salah alamat karena yang membuka Mbak.”
“Sekarang
saya tinggal di sini, Tuan. Terima kasih paketannya.”
Gadis
itu memunggungiku. Mataku masih belum mau berkedip sampai pintu berbahan jati
itu berdecit. Ia menghilang.
***
Sepanjang
hari hibernasiku, narasi dari televisi tidak henti-hentinya mengudarakan status
kabut asap yang melanda daerah Sumatra dan Kalimantan. Desas sesis lawan
politik yang berulah pun tak lupa dihembuskan agar suhu di mana-mana ikut
memanas.
“Jatahku
hari ini sedikit, Lin?” tanyaku di hari pertama bulan September. Setelah kemarin
seharian terkungkung dalam rumah, staminaku cukup fit untuk bekerja sekarang.
“Iya,
Ris. Paketan dari beberapa daerah di Sumatra delay karena bencana asap. Akibat musim kemarau, apa-apa jadi mudah
tersulut. Termasuk emosi.”
“Itu
mah kamu, Lin. Gara-gara tidak
diijinkan cuti, ya?” selorohku kepada Alin.
Usia kandungannya yang sudah
menginjak tiga puluh dua minggu memaksanya untuk istirahat. Tapi entah alasan
apa, Pak Hans belum menacc pengajuan
cutinya.
“Terus
saja meledek. Gih sana berangkat sebelum hujan angin.”
“Iya,
Neng. Lagian masih jarang hujan juga kali.”
Matahari masih mentereng di atas
kepala. Jilatannya hari ini lebih tajam ketimbang pisau kepunyaan tukang begal
sapi. Dan seragamku yang berwarna merah pun sudah bau kecut sejak sejam lalu.
Tapi tak apalah, paketanku tinggal sedikit jadi harus dibetah-betahin dengan parfum
alami badanku. Kamu kuat, Ris.
***
“Cahaya
sudah tidak tinggal di sini lagi, Mas. Balik ke kampung halamannya. Wonogiri.”
“Oh,
saya kira Mbak itu tinggal di sini,” sanggahku.
Kali ini aku mengantar sepucuk
surat beramplop deragem dari pengirim yang berada di pulau seberang.
“Kalau
begitu, saya titip surat ini kepada Ibu, nggih?”
imbuhku.
“Jangan,
Mas. Cahaya tidak akan balik lagi ke sini. Dia akan mengurus jenazah adiknya
yang meninggal saat bertugas menjadi dokter muda di Minas.”
“Apakah
Ibu tahu alamat rumahnya di Wonogiri?”
“Kurang
tahu, Mas. Maaf saya pamit masuk rumah dulu. Anak saya sedang tidur jadi takut
terbangun dan tidak ada orang di sampingnya. Mari!”
Diriku
terpaku dari balik pagar. Tangan kananku masih memegang surat dari Surya yang entah
siapanya Mbak Cahaya itu. Sekarang, apa yang harus aku lakukan?
Tanpa
perlu lagi komando, jari telunjuk dan jempolku berkerjasama membuka perekat
dari amplop tersebut. Lancang! Logika berkata demikian. Tapi apa daya, kekepoanku mengalahkan segalanya. Mungkin
mereka yang coba-coba dengan dunia kelam awalnya juga dari hasrat seperti
diriku sekarang tapi malah berakhir kebablasan.
Perekat
dari ujung satu ke ujung yang lainnya pun terbuka. Sebuah kertas garis biasa
dengan merk di bagian bawahnya yang lazim digunakan anak sekolah menjadi titik
perhatianku. Ini bukan surat dari anak SD yang sedang menyatakan suka, kan?
Minas,
3 Oktober 2015
Assalamu’alaikum, Mbak. Bagaimana kabar di
Solo sana? Salam untuk Budhe In yang bersedia menemani Mbak pindah kos karena
ketahuan Mas Handoyo.
Oh, ya, Mbak. Sepekan lagi tugasku
di sini selesai. Jadi aku bisa segera menemani Mbak mengurus masalah perceraian
dengan Mas Handoko. Aku ingin Mbak segera bebas dari hutang budi dengan keluarga
mereka. Ini memang salahku yang menyebabkan Mbak menikahi laki-laki yang tidak
Mbak cintai. Sekali lagi, aku minta maaf, Mbak. Aku baru sadar bahwa ada hal
yang tidak perlu kita sentuh untuk membuatnya terasa ada. Yaitu cinta.
Tunggu aku pulang, ya, Mbak.
Dari
Adik yang akan menjagamu,
Surya
Anggara
Kenapa
surat ini baru sampai sekarang? Seharusnya jika tidak terkendala, tiga hari
yang lalu pesan dari Surya ini sudah dibaca Mbak Cahaya. Tunggu! Surya Anggara?
Nama yang tidak asing. Ah, aku ingat! Dia dokter muda yang diberitakan
meninggal karena berada di daerah endemik Sumatra. Ya Tuhan.
Wanita berwajah udumbara itu…
kapan lagi aku bisa melihatmu?
--ooOOoo--
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti
Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang
diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan
NulisBuku.com.