RECYCLE
Oleh: Anisa Ay
“Kay, tunggu!”
“Apa lagi? Loe pengen gue minta
maaf? Itu hanya ada dalam mimpi!” seru Kay kepada kawan seorganisasinya.
“Kamu ‘kan kenal Dilan sejak
lama. Jika udah ngomongin tentang laut, bencinya ia mirip Gunung Sinabung yang
sedang erupsi.”
“Dia udah gede, Vi!”
“Kamu juga udah gede, Kay.”
Kay
dan Avi mematung di bawah rerimbunan pohon trembesi yang masih sibuk
berfotosintesis, memberi makanan siang terbaik untuk paru-paru kedua mahasiswa
tersebut.
Kay
membuang amarahnya bersamaan dengan hembusan angin musim kemarau yang masih
angkuh menubruk siapa saja penghalang pergerakannya.
“Kau
harus menolongnya, Kay. Ah, bukan. Kita harus mengubah sikap paranoidnya itu.”
“Untuk
apa, Vi? Dianya aja ogah-ogahan gitu. Lagian siapa gue di mata Dilan?” ujar Kay
tanpa menoleh ke arah Avi yang duduk di sampingnya. Ransel yang ia bawa selepas
mengikuti mata kuliah Bu Endah terpaksa ia istirahatkan sementara. Pundaknya belum
cukup kuat membopong lama-lama laptop dan peralatan kuliahnya lainnya yang beratnya
mencapai angka lima kilogram.
“Sejak
kapan kau butuh alasan? Bukankah alasan tidak punya tempat di hati seorang
sahabat tulen?
Hujaman
bola mata arang Avi bak katana yang
siap menghunus samurai-samurai lain yang menyerang. Kay tidak berkutik. Permintaan
gadis berjilbab itu seperti perintah Raja kepada prajuritnya. Tidak perlu
negosiasi apalagi bantahan.
“Gue
paling benci jika loe udah ngomong, Vi!”
***
Tirai
berwarna toska berayun dengan anggun di balik jendela kaca kamar Dilan. Serupa warna
senja yang sedang merona, buku catatan bersampul orange itu tergeletak cukup lama di pojok meja belajarnya. Sendiri.
Tanpa sekali pun disentuh si empunya. Terkadang semut-semut yang
bertransmigrasi menyapa punggung buku itu memberikan jejak setapak di atas debu-debu
yang sengaja dibiarkan bertebaran. Dilan sendiri masih terlelap dalam
mimpi-mimpi masa kecilnya. Masa di mana ia menghabiskan waktu dan rela pergi
dari dunia ini asal orang itu bahagia. Ya… hanya orang itu yang paling ia
rindukan saat ini, esok dan seterusnya.
Sebuah pesan lewat Blackberry Messenger masuk. Dari teman SMA sekaligus kuliahnya.
Kay : Aku mau bicara sebentar. Bisa temui aku
di Batagor Pak Jum?
Dilan : Ogah!
Kay : Just
five minutes. Please?
Dilan : Only
three minutes. No more.
Kay : Okay!
Setengah jam lagi, ya? Thank you J
Jelas ini bukan Kay. Sejak kapan
ia pakai kata aku kamu,
gumam Dilan dalam hati.
***
Pukul empat sore lewat tujuh
menit Dilan sudah sampai di tempat yang dituju. Batagor Pak Jum adalah tempat
kesukaan Kay. Di sini, masih kata Kay, makanan apapun yang dipesan selalu
tersaji. Plus bagian tengah dari
gerai kongko-kongko ini terdapat kolam renang yang tidak boleh dimasuki
sembarang orang kecuali dengan ijin yang punya restoran. Sedangkan di tepi
kolam sengaja diberikan tempat lesehan agar pengunjung bisa menikmati melodi
yang dinyanyikan oleh gemericik air. Menentramkan hati, bukan?
“Sudah lama menunggunya?” sapa seorang gadis kepada
Dilan.
Siluet orang yang dikenalnya muncul dari balik
punggung. Awalnya, ia pikir pesan itu sungguh dari Kay. Namun, dugaanya memang
selalu tepat.
“Mana, Kay?” tanya Dilan yang tidak mendapati
keberadaan si pengirim pesan.
“Dia belum datang? Padahal aku menyuruhnya untuk
tidak terlambat.”
“Hanya tiga menit!” ulang Dilan lagi. Ah, sepertinya
ia terlalu jenuh menghadapi dua gadis yang paling dekat dalam hidupnya selain
ibu dan adiknya.
“Baiklah. Ayo kita duduk di sana dan aku akan akan
menyalakan alarm jam tanganku untuk tiga menit ke depan. Deal?” pinta Avi. Dan hanya dibalas Dilan dengan tatapan datar. Jika
ekspresinya seperti itu berarti jawabannya adalah setuju.
Satu menit berlalu.
Dua menit terlewati sia-sia.
Tak ada tanda ataupun bau badan Kay yang tercium.
Tiga menit sudah. Tamatlah rencana Avi. Dia merasa
telah gagal menjadi kawan dari kedua sahabatnya.
“Aku pulang!” seru Dilan ketika ia mulai beranjak
dari tempat lesehannya. Hingga tiba-tiba orang itu mendorongnya ke tengah kolam
renang dan lalu menceburkan dirinya juga bersama-sama.
“Vi, tolong aku! Aku tidak bisa berenang!” teriak
Dilan sebisa yang ia lakukan. Kejadian sepuluh tahun silam telah berhasil
menghipnotisnya untuk tidak mau berenang.
“Tenang dan nikmatilah panorama
di bawah air, Dil!”
“Gila apa? Keadaan segenting ini,
kau malah memintaku tenang. Bisa mati tenggelam beneran nih!” teriak Dilan
dengan napas yang tersisa.
“Just relax!” ucap Avi
sekali lagi.
Dilan berusaha semampunya untuk
tenang mengikuti kata Avi. Ia tenggelamkan wajahnya ke dalam kolam. Sebuah bayangan
seseorang mendekatinya. Seseorang cukup ia kenal. Kay.
Jarak mereka tak lebih dari satu
meter saat Kay mengeluarkan satu demi satu kejutannya kali ini. Sebuah kertas
bertulis tangan yang sengaja dilaminating agar tidak basah di dalam air. Kertas
putih bertinta hitam dari masa lalu keduanya. Pesan terakhir adik Dilan sebelum
ia menghilang terseret ombak Pantai Klayar.
Kak Dilan tersayang…Deila
selalu sayang, Kakak!
Dari tangan kirinya, Kay
mengeluarkan buku bersampul orange
tadi yang ia masukkan ke dalam kantong plastik. Sorot mata Dilan yang tadinya
merah padam berubah sendu. Ada sedih yang tersirat di balik mata abunya.
Ayo ke atas permukaan air. Mungkin
itu terjemahan kata yang ingin diucapakn Kay saat jari telunjukknya mengacung
di dalam air. Keduanya pun muncul bersamaan lalu disambut sunggingan senyuman
dari Avi. Kemudian diikuti Dilan dan Kay.
“Kalian benar-benar tolol! Kalau aku beneran
tenggelam gimana?”
“Itu berarti loe kebangetan. Kolam ini dalamnya cuma
dua meter!”
“Terserah! Tapi awas, ya jika buku itu sampe rusak. Hidup
kamu tamat di sini!”
Ketiga saling bertatapan. Bercakap
lewat bahasa kalbu. Sesekali tertawa lalu terdiam dan tertawa lagi. Bukankah
ini perjalanan yang mengagumkan? Silih berganti tanpa perlu ada yang berubah.
--ooOOoo—
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti
Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” diselenggarakan oleh Yayasan Kehati
dan Nulisbuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar