MENGENGGAM HUJAN
Oleh: Anisa Ay
Natsu
tiba. Musim di mana yukata yang teronggok
hampir setahun di dalam lemari siap dicuci dan diseterika. Namun sepertinya,
itu hanya akan jadi memori yang terpendam di dalam palung kerinduanku.
“Kau
sudah menghubungi Kito-kun?” ujar Sera yang terpaku di samping ranjang sejak
setengah jam lalu. Di sampingnya, beberapa bungkus es krim dan makanan ringan
menggunung di antara komik shonenku.
“Aku
tidak berani. Pasti ia akan menghindariku setelah ini. Mana ada cowok yang akan
mendekat jika aku selemah ini,” keluhku setengah mendengus.
Kito-senpai, siswa biasa dari kelas sebelah
yang berhasil membuat ilusi wajahnya di setiap detik kehidupanku. Berlebihan
memang. Tapi seperti itulah. Ah, dia memang mirip Yamazaki Kento, ujarku berapi-api
saat menceritakan profilnya di depan Sera.
“Sumimasen.”
“Eh,
Kito-kun. Dozou,” seru Sera ketika cowok bermata hazelnut itu menengok dari
balik pintu.
Gawat!
Kenapa otou-san tak bilang terlebih dahulu jika ia ke sini. Habislah sudah pesonaku
Penampilan berantakan tanpa bedak dengan wajah pucat pasi. Oh, no.
“Arigatou,” balasnya seraya menyerahkan a cup of strawberry cake favoritku.
“Gomenasai. Ini salahku Kito-senpai. Momen bahagia di hari lahirmu
menjadi muram karena tragedi kemarin. Seharusnya aku mengatakan padamu tentang
fisikku yang tidak kuat terkena air hujan.”
“Daijoubu, Riu-san. Anu… sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu.”
Kito-senpai
memberi jeda sesaat sebelum ia melanjutkan omongannya. Ah, pasti dia ingin
bilang padaku untuk tidak dekat-dekat lagi dengannya. Tamat sudah riwayatku.
Namaku seolah tertulis di Death Note kepunyaan Yagami Light dan sekarang
Ryuk sudah siap sedia menunggu waktunya beraksi, mengurangi sisa umurku. Ah, imajinasiku
ketinggian.
“Ehm,
baiknya aku keluar. Silakan bicara berdua.”
Sera,
you’re my best friend. Tahu saja
kalau kawanmu ini sedang melayang di udara dan berlarian di tengah lautan awan
yang berarak.
Hening.
Kito-senpai masih menunduk di
sampingku. Satu, dua, tiga menit berlalu dan ia masih membeku.
“Kito-senpai?”
“Riu-san, maukah kau pergi ke festival Tanabata bersama denganku?”
“Eh?”
jawabku spontan. Sungguh ini di luar perkiraanku. Kito-senpai menyukaiku?
“Tapi…
itu pun jika kau sudah sembuh,” imbuhnya lagi.
“Tentu
saja. Aku pasti bisa jika itu dengan Kito-senpai.”
***
“Apa
yang kau tulis di kertas tanzaku,
Riu-chan?” tegur Sera yang pagi buta
seperti ini sudah menongol di atas kasur kesayanganku. “Tidak turun hujan?”
tambahnya lagi.
“Bukan.
Ini rahasia. Tidak akan terkabul jika aku membocorkannya padamu.”
“Baiklah.
Semoga tsuyu tahun ini tidak
seekstrim kemarin.”
Aku
masih sibuk menggantungkan kertas tanzaku
di pohon bambu yang sengaja aku taruh di teras lantai atas. Alasannya cuma
satu. Permintaanku tidak boleh ada yang tahu.
***
Aku menapaki jalan setapak di tengah
padi yang siap merunduk. Warna keemasan terpantul cantik dari bulir-bulir padi
yang ikut sumringah ketika hujan tiba. Kini, tak perlu lagi aku risau akan
kondisiku. Tangis yang terurai ketika kencanku dengan Kito-senpai gagal di festival Tanabata kemarin hanya bagai angin lalu
yang berhembus tanpa meninggalkan jejak. Karena sekarang, aku bisa menggantinya
dengan ratusan atau bahkan ribuan kali.
“Sudah
keliling dari mana saja?” sapa Kito-senpai
ketika aku mendekatinya yang sedang istirahat bermain sepak bola.
“Pada
akhirnya, sejauh mana pun aku berjalan, akan kembali ke sisi Kito-senpai.”
“Aku
sungguh senang karena hujan takkan lagi memisahkan kita, Riu-chan. Ehm, sepertinya aku harus
mengganti panggilanmu, Ame-onna.”
Di
tengah rerintikan tangisan langit, aku menggandeng tangan Kito-senpai yang penuh hangat. Walaupun
sejatinya tangan kami tak bersentuhan, senyum dan tatapan matanya telah
berhasil melumerkan dinginnya senja kala itu. Oh ya, aku jadi ingat permohonan
yang kutulis.
Semoga
tahun ini, aku akan tersenyum bersama di tengah hujan dengan Kito-senpai.
Tuhan telah menjawabnya dengan
kecelakaan yang aku alami ketika keluar menghampiri Kito-senpai di seberang jalan. Tanpa menghiraukan rambu lalu lintas yang
ada, sebuah mobil pembawa sayur mayur menabrakku.
Tulisan ini diikutsertakan dalam tantangan
@KampusFiksi dengan tema #GadisZeus
Solo, 4 Agustus 2015
23:12
Satu lagi mitos di jepang YA~~ keren
BalasHapusKalau berkenan mampir juga ke cerita ku "Senandung Maeveen" di wwullandstoryrooms.blogspot.com thanks
Ah iya kemarin udah baca tapi setiap mau komen terkendala sinyal, hehe...
BalasHapusDi jepang terlalu banyak mitos dan terlanjur jatuh hati sih dengan negara itu :) terima kasih sudah membaca