POTRET
“An, kamu
baik-baik saja?” tanya Zain.
Sekali
pun Angel mengangguk sebanyak hitungan jari tangan kanannya, toh, wajahnya
jelas melukiskan hal sebaliknya. Ia kedinginan.
“Aku
masih kuat kok. Bentar lagi sampai di pos III, kan?” sanggah Angel dengan
sedikit menyunggingkan senyuman.
Ulin,
Angel, Zain, Frans dan Nika memulai pendakian Gunung Lawu lima jam yang lalu.
Ini untuk pertama kalinya bagi Angel menuju Hargo Dumilah via Cemoro Kandang.
Tahun yang lalu, ketika liburan tiba, mereka sepakat untuk mendaki gunung yang
membatasi Jawa Tengah dan Jawa Timur ini lewat jalur yang sedikit terjal.
“Kamu
bagaimana, Nika?” Zain melempar pertanyaan yang sama untuk teman perempuan
satunya dalam perjalanan ini.
“Sehat,
Bos!” jawan Nika sekenanya. Tampilan Nika memang terlihat feminim, tapi
dalamnya, cowok banget.
“Eh,
posnya udah kelihatan Zain,” ujar Ulin yang memimpin rombongan disusul Frans di
belakangnya.
“Alhamdulillah.
Ayo Angel sedikit lagi,” seru Zain dan Nika yang berada di belakangnya.
***
“Gue
udah bilang kok ke Zain dari awal. Tapi dia bilang nggak masalah,” bisik Frans
kepada Ulin.
Keduanya kini
tengah mengopi di luar tenda yang setengah jam lalu baru didirikan.
“Masa’
sih? Bukannya Zain udah sering bolak balik ke sini, ya? Mestinya dia udah paham
pantangan-pantangan di gunung ini?” jawab Ulin.
Frans pun
hanya mengangkat membahunya, menandakan kurang tahu. “Tapi sejauh ini, memang
baik-baik saja,” imbuhnya kemudian.
Di
belakang pos IV, Zain dan Nika baru saja menyelesaikan sholat Asharnya sedangkan
Angel tengah menenggelamkan dirinya dalam jaket waterproofnya. Entah apa yang dirasakan, ada sesuatu yang
mengganggunya.
***
“Yeay!”
kompak berlima berteriak di atas Hargo Dumilah. Setelah berjalan sepuluh menit
dari persimpangan Hargo Dalem dan Hargo Dumilah mereka sampai di ujung jalan
Gunung Lawu.
“Wajah
kamu pucat, An. Kembali ke warung Mbok Yem dulu yuk,” ajak Nika yang disetujui
oleh keempat teman yang lainnya.
“Iya,
Nik. Tapi tolong fotoin dulu, ya?”
“Yaelah.
Masih sempet-sempetnya minta foto. Dasar cewek,” seloroh Frans.
Lima
belas jepretan dari action camera
yang dibawa Angel mengakhiri sesi pemotretannya di atas 3265 mdpl yang kemudian
berpindahtangan kepada Frans. Sebenarnya dia pun gila kamera hanya tengsin.
Angel
berjalan menuju warung Mbok Yem tempat mereka menginap semalam. Ditemani Nika
dan Zain yang membantunya membawa carrier, Angel sudah bersandar di pinggir
warung.
“Tidak
apa-apa, An? Kuat kan untuk nanti turun?” tanya Zain khawatir.
“Siap,
Bos!” ungkap Angel menirukan Nika. “Aku cuma sedikit kedinginan,” imbuhnya
kemudian.
“Pakai
ini dulu. Aku masih punya satu di dalam carrier.” Zain memberikan jaket windproofnya kepada Angel beserta teh
panas yang ia pesan dari Mbok Yem.
“Cie!
Aku jadi obat nyamuk nih,” ledek Nika.
“Daripada
jadi nyamuknya, Nik,” balas Zain.
Pipi
Angel bersemu merah. Kenapa kita
memanggil Tuhan dengan nama yang berbeda, Zain?
***
“Nik,
pernah dengar nggak kalo mendaki di sini nggak boleh berjumlah ganjil?” bisik
Ulin kepada Nika. Sekarang posisi mereka berubah. Frans di depan disusul Angel,
Zain, Nika dan Ulin.
“Heh?
Pernah dengar sih. Emang kenapa, Bro?” tanya Nika keheranan.
“Terus
kamu nggak khawatir nih. Kita berlima. Ganjil.”
“Entahlah.
Aku tidak percaya sih, Ul.”
“Semoga.”
sumber: akuphoto.co.id |
Dua
jam kemudian mereka sudah kembali ke titik nadir dari pendakiannya. Zain sudah
membawa tiga gelas kopi hangat disusul Frans dengan dua gelas teh panas.
“Eh,
lihat hasil jepretannya tadi dong!” pinta Nika yang sudah menghabiskan setengah
gelas kopinya dalam satu dua seruputan.
Nika
memencet tombol lingkaran berukuran seperempat inci untuk melihat hasil kamera
milik Angel. Dari pos I dengan pemandangan sayur-mayur kepunyaan warga, sumber
air panguripan hingga pos V yang dipenuhi ilalang serta bunga edelweiss pum
tidak luput dari jepretan kamera berwarna merah cabe ini.
“Wah,
kamu kalau lagi sholat keliatan alim, Nik,” ledek Ulin.
“Gue
setuju, Lin. Eh, tapi loe juga keliatan keren kalau sedang ngopi bareng gue.
Secara ketularan aura kegantengan gue sih,” timpal Frans tetap dengan bahasa
loe gue nya.
“Iya,
nih. Kamu pinter ambil anglenya, An?”
imbuh Zain yang langsung mengarahkan pandangannya ke Angel. Wajahnya lebih
segar sekarang.
“Ambil
gambar kalian? Kapan?” sanggah Angel. Perasaan
kemarin aku tepar saat mereka masih terjaga.
Nika
pun menunjukkan gambar yang ia maksud. Tentu saja ketiga temannya yang lain
mempunya tanda tanya yang besar di atas kepalanya.
“Sumpah
demi Tuhan. Aku tidak mengeluarkan kamera itu sejak kita tiba di pos III dan
baru mengambilnya kemarin saat kita tiba di Hargo Dumilah.”
Angel
pun terus menggeser foto-foto yang tersimpan di kameranya. Hingga bola mata
cokelatnya membulat saat gambar dirinya yang membentangkan tangan di
latarbelakangi awan terlihat janggal. Di sampingnya ada seseorang. Ah, bukan.
Sesuatu yang sedang tersenyum.
Kelima
sahabat itu pun saling lempar pandang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar