CITA
SELEMBAR DAUN
oleh: Anisa Ay
Yang
menawan dari sekuntum bunga adalah daunnya.
“Apanya
yang cantik? Bagiku dia sama dengan anak kelas Sembilan lainnya.” Galih masih fokus
membaca komik Naruto favoritnya. Chapter
di mana Sasuke dan Itachi harus bertarung sengit.
“Dia
beda, Lih! Percaya deh sama aku! Kalian setipe.”
Galih
menatapku tajam. Barusan seperti ia
telah mengeluarkan jurus Saringannya ke arahku. Harusnya segera aku
lawan dengan Rasengan yang tidak kalah mematikan. Namun, aku lebih memilih
mengibarkan bendera putih dan meneduhkan bola mata hitamku. Dia tetaplah
sahabatku.
“Galih?”
sambil ku benarkan posisi kacamataku yang sedikit miring, aku dekati tempat di
mana Galih duduk sekarang. Duduk bersila diikuti dengan merebahkan tubuh
mungilnya di dinding. Posisi terbaiknya untuk membaca komik.
“Apa?!”
jawabnya ogah – ogahan tanpa menoleh ke arahku.
“Leni
Ananta, namanya.”
***
Dua
hari yang lalu…
Sinar
matahari yang menyusup lewat celah – celah jendela, membentuk pelangi nan
memukau. Hamburannya yang berdispersi dengan jendela kaca kamarku, menegaskan
fenomena fisika yang kemarin baru saja aku dengar dari Pak Teguh, bukan bualan.
Aku pun hanya bisa melihatnya samar – samar tanpa menggunakan kaca mata lensa
cekungku. Otakku pun masih ragu untuk menyerap permintaan ibuku barusan,
membeli tanaman bunga.
Sepuluh
menit dengan berjalan gontai, tempat kejadian perkaran sudah terlihat. Yah,
walaupun hanya menyala lima watt, mata ini masih sanggup untuk melihat arah
tujuan.
“Kamu…
anak SMP 7, kan?” suara nan lembut yang tidak kalah memukau dengan Yui tiba –
tiba mengagetkan tidur dadakanku. Spontan aku terjungkal sambil meraba di mana
kacamataku yang jatuh entah kemana.
“Ini
kacamata kamu.” Sang pemilik suara merdu itu kembali mengalunkan musiknya di
gendang telingaku.
Aku
harus mengedipkan mataku berkali – kali untuk memperjelas siluet yang tengah
berdiri di hadapanku, “Terima kasih,” sahutku.
“Ngomong
– ngomong, cari apa?”
Aduh,
dia perhatian sekali padaku. Eits, tunggu. Tentu saja dia bertanya seperti itu,
ini kan toko tanaman milik ibunya.
“Cari
tanaman bunga, Len. Apa aja. Yang penting indah untuk dilihat,” jawabku
spontan.
“Tanaman
bunga yang indah untuk dilihat?” Leni mengernyitkan dahinya. Seperti ada yang
janggal dengan pernyataanku tadi.
“Ada
yang aneh, ya dengan apa yang aku katakan?”
“Kau
tahu Ardan, bagian tercantik dari tanaman adalah daunnya. Jarang sekali bukan,
ada orang yang membeli tanaman bunga karena daunnya.” Wajah Leni tampak serius.
Ia mengamati seuntai daun yang masih kokoh mendekap sang ranting pada tanaman
bunga matahari.
“Mengapa
begitu, Len?”
“Tanpa
mahkota, tanaman itu akan tetap menyongsong paginya dengan gembira. Tapi, tanpa
daun tak lagi ia bisa menghirup karbondioksida untuk diubah menjadi oksigen.”
“Menurutku,
tanpa mahkota, ia takkan lagi dihinggapi kupu – kupu. Bahkan kejamnya, ia hanya
akan terus sendirian menopang hidupnya,” jawabku membela diri.
Leni
kembali menyunggingkan senyuman mininya. “Kan ada manusia yang akan selalu
merawatnya. Kamu mungkin?”
Aku?
Maksudnya apa nih? Jangan – jangan Leni sedang memberikan kode padaku. Ah,
sudahlah. Bukan zamannya hanya memikirkan tentang cinta. Toh nanti ketika cita
sudah setinggi awan yang berarak, cinta akan menyusulnya seperti layang –
layang yang membumbung tinggi ke langit biru.
Tulisan ini diikutsertakan
dalam tantangan @kampusfiksi dengan tema #rahimpuisi dan terinsipirasi dari
puisi “Hatiku Selembar Daun Melayang Jatuh di Rumput” karya Sapardi Djoko
Damono yang dapat dilihat di https://jikaku337.wordpress.com/category/hatiku-selembar-daun/
Solo, 23
Maret 13:35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar