SEED
Oleh:
Anisa Ay
“Ini
terlalu kejam!”
“Kita
tidak punya pilihan, Ga.”
“Pasti
ada, Drei! Kau tidak akan melakukannya, kan?”
“Alasan
kita ke kota yang miskin manusia ini adalah untuk melakukan yang tidak bisa
dilakukan orang biasa.”
***
Sebuah
pesan singkat masuk.
Awal dari
sebuah komunitas menjadi akhir dari komunitas lain.
Ini
sebuah misi. Lagi. Aku dan Drei berasa di atas angin jika bos mempercayakan hal
krusial kepada kami. Dan satu hal lagi yang berkaitan dengan pesan di atas. Itu
bukan permintaan melainkan sebuah perintah.
Aku
bersama Drei segera bersiap diri. Peralatan yang kami buat sudah tertata rapi
di backpacker kami masing-masing. Lokasi yang kami tuju akan dikirim melalui
aplikasi khusus yang dibuat untuk para anggota. Kami sebut Seed. Ya, namanya
memang diambil dari kata benih. Karena bagaimana pun juga tugas kami tidak jauh
beda dengan tunas yang menerbitkan semburat pelangi setelah hujan deras reda.
“Tujuannya
sudah fix, Drei?”
Kami
sudah duduk hampir satu jam di dalam APV ini. Drei sendiri malah tertidur pulas
dengan mendekapkan kedua lengannya di dada. Dapat dipastikan ia sedang mabuk
darat. Apa daya aku harus membiarkannya tenggelam dalam hiatusnya sembari
menunggu bunyi ting dari aplikasi bergambar bibit berwarna hijau. Perjalanan ini
akan memakan tenaga dan pikiran kami lebih dan lebih dari tugas yang pernah
ada.
***
“Tanah
ini telah lupa kepada tuannya, Nak. Manusia tak lagi sebagai manusia.”
Kakek
berumur hampir seabad itu menyambut kami dengan kelembutan. Kata-katanya yang
lugas tidak sedikit pun menunjukkan sifat culas yang terkenal di daerah
yang jarang terguyur hujan ini.
“Awalnya,
kami pikir ini akan menjadi simbiosis mutualisme antarmakhluk hidup. Lambat laun,
kesetimbangan yang ada tidak pernah berjalan mulus. Jalan tol yang katanya
bebas hambatan saja masih saja macet apalagi rencana manusia yang penuh cacat,
Nak. Situasi sekarang menjadi cambuk bagi kami sendiri.”
Mata
kami tidak sekali pun mengudara ke tempat lain. Drei masih dengan sigap
menyerap semua informasi yang kami terima untuk selanjutnya diberitahukan ke
bos lewat Seed. Sedangkan aku harus menjadi cucu terbaik si kakek, mendengarkan
histori desa ini hingga selesai. Paling tidak untuk setengah jam ke depan, aku
tidak perlu kopi agar terjaga di tengah malam yang pekat tanpa rembulan.
Esoknya,
saat mentari belum genap memeluk bumi, aku sudah mengitari hampir separuh desa.
Tidak ada yang aneh. Kakek itu mungkin hanya berlebihan menanggapi situasi yang
terjadi. Namun, ketika aku ingin kembali mengecek pesan di Seed, panorama
ganjil telah mengusik nurani dan logikaku.
Salah
satu rumah yang tampak tak berpenghuni dengan jendela yang sudah lapuk terdengar
erangan seekor kucing. Ah bukan, jumlahnya lebih dari satu. Ratusan atau bahkan
ribuan. Sorot matanya yang tajam menghujam tepat di organ pernapasanku. Mereka menatapku
ibarat sarapan paginya. Kakek benar. Di desa ini, kucinglah sebagai manusianya.
***
“Jika
memang ini jalan satu-satunya, kakek siap, Nak.”
Suara
kakek yang parau diiringi batuk yang ia derita sejak kemarin malam membuat
decak jantungku semakin tidak karuan. Ini bukan jalan terakhir.
“Drei,
aku tidak ingin mengorbankan siapapun!”
“Kita
hanya melaksanakan misi, Ga. Ini solusi yang diberikan bos kepada kita. Tidak ada
bantahan. Itu aturan di Seed. Kau sudah tahu itu sejak awal.”
Kakek
mengenggam tanganku erat. Sekilas terlihat sebuah cincin melingkar mesra di
jari kelingkingnya. Ah, ini pasti cincin nikahnya dulu bersama sang istri.
“Kakek
terlalu mencintai manusia dan desa ini ketimbang hidup kakek yang sudah divonis
dengan kanker paru-paru, Nak. Lakukan apa yang Egar perintahkan.” Egar? Kakek bahkan
menyebut nama kecil bos kami. Pasti ia sangat dekat dengan bos Seed.
“Tapi,
Kek… ra-racun ini harus dikonsumsi manusia terlebih dahulu agar mematikan untuk
kucing yang kebal dengan racun biasa itu, Kek.”
Omonganku
hanya dibalas dengan anggukan lembut sang kakek. Ia tak menghiraukan resiko
yang barusan aku katakan. Di satu sisi aku paham perasaan kakek sebagai sesepuh
desa yang ingin menyelamatkan populasi manusia yang semakin menipis. Ini semua
akibat populasi kucing yang tak terkendali hingga manusia dan kucing harus
saling berebut makanan. Dan entah karena suatau hal, kucing-kucing di desa ini
lebih garang dan kuat dari kucing kampung biasa. Inilah misi kami. Membasmi kucing
yang bertransformasi.
“Ini,
Kek.” Drei memberikan botol berukuran lima puluh milliliter yang berisi cairan
berwarna bening. Tampak indah di luar tapi mematikan.
Aku
menggeleng berkali-kali mengisyaratkan larangan. Kami bertiga saling tatap. Mengkomunikasikan
bahasa hati lewat pandangan mata. Tanpa bicara. Semoga ada jalan terang dibalik
hutan keggelapan tak berujung ini.
Tulisan ini diikutsertakan dalam tantangan @KampusFiksi dengan tema #FiksiRacun