Rabu, 28 Oktober 2015

CERPEN: KERLINGAN LING


KERLINGAN LING

Apa yang salah dengan rasa ini? Mereka berdegup lebih kencang tanpa bisa aku rem atau gas seenak hatinya. Bahkan, Si Einstein pun dapat kupastikan tidak dapat menjelaskan getar yang beresonansi ini menggunakan rumus mc2-nya. Aku tetaplah lelaki biasa.
***
            “Pak Ganteng, saya es krimnya yang rasa cokelat, ya?” pinta si gadis mungil dengan bulu mata lentiknya.
            “Siap, Ling.”
            Ling pun membalas senyumanku dengan memamerkan giginya yang berbehel.
            “Masih menunggu orang tua kamu?” tanyaku sembari membuatkan es krim favoritnya, rasa cokelat ditambah toping meses warna warni di atasnya.
            “Bisa jadi, Pak Ganteng.”
            “Kok gitu? Mereka ada urusan?”
            “Mungkin. Sudah dua hari ini Ibu tidak pulang dan Ayah juga selalu menghilang tiap malam. Entah pergi ke mana.”
            Anak ini kenapa nasibnya tidak jauh beda dengan diriku sewaktu kecil. Tanpa ada orang dewasa yang mendampinginya tumbuh.
            “Ini es krimnya. Kalau nanti orang tua kamu belum datang, Pak Ganteng antar saja, ya?” usulku kemudian.
            “Sungguh? Senangnya!”
            Wajah Ling kembali berseri. Efek es krim cokelat mungkin kali, ya. Atau malah usulanku tadi? Dia memang secercah cahaya yang masuk ke dalam dunia gelapku. Tujuh tahun sudah aku tak pernah merasakan detak jantung yang  berdenyut lebih cepat dari biasanya. Tapi… Ling itu hanya seorang anak kecil berusia 9 tahun. Tidak! Aku harus meredamnya.
***
            Mendung masih setia memeluk bumi dan mentari, ah, dia sudah pulang ke tempat hiatus sejak setengah jam lalu. Efeknya, es krim jualanku hanya laku beberapa cup saja. Eh? Kenapa Ling ada di sini?
“Apa-apaan ini!? Siapa yang melakukannya padamu, Ling?” ujarku dengan nada tinggi. Sialan! Beraninya ia melukis lebam di wajah mungil Ling-ku.
            “Tidak apa-apa kok, Pak Ganteng. Ayah marah karena aku tidak menurut kepadanya. Dia tidak ingin aku membangkang seperti Ibu,” ujar Ling sambil menahan isak tangisnya. Namun sekilas, aku lihat bola bening itu tumpah di pipi tembemnya. Matanya kini semakin sipit.
            Kuraih badan mungilnya dan kudekap ia. Ingin kusalurkan rasa sayangku seluruhnya. Aku tak ingin membendungnya lagi. Tidak boleh ada lagi Liem versi perempuan.
            “Kamu boleh menginap di rumah Pak Ganteng jika mau?” tawarku kepadanya.
            Bola mata kelerengnya menatapku dalam. Seolah mencari perlindungan yang ia rindukan dari keluarganya.
            “Bolehkah aku memanggil namamu?”
            “Tentu saja, Ling. Dengan senang hati,” ujarku sumringah. Tentu aku sudah mendambanya beberapa bulan perkenalanku dengannya.
            “Liem, aku telah menemukan es krim rasa cokelat dari dalam matamu,” ujar Ling.
            Aku akan menantimu, Ling. Sepuluh tahun lagi aku akan meminangmu. Aku bukan mereka yang terlalu kerdil mencintai tapi tidak sanggup menunggu waktu yang tepat untuk memetik sang bunga.

Tulisan ini diikutsertakan dalam tantangan @KampusFiksi dengan tema #FiksiPaedofil
Solo, 28 Oktober 2015
21:38