Selasa, 25 Agustus 2015

CERPEN TANTANGAN KAMPUS FIKSI #TENTANGHILANG


RENJANA CILOK CAK NUR
Oleh: Anisa Ay

Bak kotak pandora yang tertutup rapat penuh rahasia, memoriku tentangnya pun demikian. Gigi serinya yang tertata apik selalu menyuguhkan harapan di tengah kepasrahan. Bahkan hujan lebat di bulan Januari pun harus tunduk dengan sketsa pelangi di bola mata arangnya. Dia terlalu sempurna untuk hidup di dunia ini.
***
Sengatan sang surya terlalu tajam menusuk kulit ari punggung tanganku. Bahkan kaos tangan yang seperempat jam tadi sudah membalut kelima jariku tak berhasil mengalahkan intensitas cahaya yang menerpa.
“Kau masih saja suka cilok Cak Nur? Tempo hari perutmu sakit setelah memakannya, kan?” ujarku setelah menoleh ke belakang dan mendapati Alin sibuk dengan santapannya.
“Hehe… Namanya juga kecanduan, Neng. Anggap saja, kemarin itu khilafnya Cak Nur yang salah meramu bumbu.”
“Kebiasaanmu. Semuanya selalu berupa anggapan. Bahkan ketika kau dibully pun, kau selalu bilang anggap saja hiburan,” sanggahku.
“Karena dengan sebuah anggapan, kita akan menjadi penting bagi seseorang.”
***
Debu-debu masih asyik nongkrong di atas buku bersampul deragem. Hampir dua tahun ini aku membiarkannya teronggok di balik kardus-kardus bekas mie instan yang beralih fungsi menjadi rak dadakan. Mataku pun harus berkedip berulang kali ketika angin sore kala itu berhembus dan membawa simfoni kerinduan. Lagi, sepasang lesung pipi yang bertengger di kedua pipi chubbynya bergelayutan di alam bawah sadarku.
“Apa kabarmu, Alin?”
***
“Cari siapa, Lin? Cak Nur?”
“Iya, Neng. Perasaan dari kemarin abangnya tidak jualan, ya?” jawabnya dengan wajah sayu.
Dasar, Alin! Kehilangan abang jualan cilok saja sampai segitunya.
“Lebay deh, Lin. Jajan yang lain bisa, kan?” jawabku asal.
“Oke. Anggap saja kali ini aku tidak ingin cilok. Tapi…”
“Apalagi?”
Alin menekuri tanah di bawah kakinya. Ada kata yang tertahan dan seolah berat untuk ia katakan.
“Rasa tidak semudah itu pindah ke yang lain, Neng.”
Ia pun berlalu tanpa menoleh ke arahku lagi.
***
 Sekali lagi, aku melihat gigi seri itu tersenyum dari balik plastik pelindung album SMAku. Rona ceria masih terpancar dengan anggun ketika ia berpose bak artis papan atas. Hidung peseknya yang khas telah menyempurnakan sosoknya di mataku.
“Apakah kau masih ingin makan cilok Cak Nur, Lin?”
***
Tiga empat lima hari selanjutnya, Alin tak mendapati keberadaan Cak Nur. Aku tangkap kegelisahan yang terbaca dari bola mata arangnya. Puluhan kali kubujuk ia untuk menyantap jajanan yang lain tapi selalu dijawab dengan pernyataan yang sama.
“Aku telah jatuh cinta, Neng. Jatuh cinta pada cilok Cak Nur. Suatu hari, kau akan merasakannya juga. Pada seseorang.”
Detik itu, untuk terakhir kalinya aku melihat senyum gigi seri yang tertata rapi itu hilang.

--ooOOoo—

Tulisan ini diikutsertakan dalam tantangan @kampusfiksi dengan tema #TentangHilang
Solo, 25 Agustus 2015
22.26

Selasa, 04 Agustus 2015

CERPEN TANTANGAN KAMPUS FIKSI


MENGENGGAM HUJAN
Oleh: Anisa Ay


Natsu tiba. Musim di mana yukata yang teronggok hampir setahun di dalam lemari siap dicuci dan diseterika. Namun sepertinya, itu hanya akan jadi memori yang terpendam di dalam palung kerinduanku.
                “Kau sudah menghubungi Kito-kun?” ujar Sera yang terpaku di samping ranjang sejak setengah jam lalu. Di sampingnya, beberapa bungkus es krim dan makanan ringan menggunung di antara komik shonenku.
                “Aku tidak berani. Pasti ia akan menghindariku setelah ini. Mana ada cowok yang akan mendekat jika aku selemah ini,” keluhku setengah mendengus.
                Kito-senpai, siswa biasa dari kelas sebelah yang berhasil membuat ilusi wajahnya di setiap detik kehidupanku. Berlebihan memang. Tapi seperti itulah. Ah, dia memang mirip Yamazaki Kento, ujarku berapi-api saat menceritakan profilnya di depan Sera.
                Sumimasen.”
                “Eh, Kito-kun. Dozou,” seru Sera ketika cowok bermata hazelnut itu menengok dari balik pintu.
                Gawat! Kenapa otou-san tak bilang terlebih dahulu jika ia ke sini. Habislah sudah pesonaku Penampilan berantakan tanpa bedak dengan wajah pucat pasi. Oh, no.
                Arigatou,” balasnya seraya menyerahkan a cup of strawberry cake favoritku.
                Gomenasai. Ini salahku Kito-senpai. Momen bahagia di hari lahirmu menjadi muram karena tragedi kemarin. Seharusnya aku mengatakan padamu tentang fisikku yang tidak kuat terkena air hujan.”
                Daijoubu, Riu-san. Anu… sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu.”
                Kito-senpai memberi jeda sesaat sebelum ia melanjutkan omongannya. Ah, pasti dia ingin bilang padaku untuk tidak dekat-dekat lagi dengannya. Tamat sudah riwayatku. Namaku seolah tertulis di Death Note kepunyaan Yagami Light dan sekarang Ryuk sudah siap sedia menunggu waktunya beraksi, mengurangi sisa umurku. Ah, imajinasiku ketinggian.
                “Ehm, baiknya aku keluar. Silakan bicara berdua.”
                Sera, you’re my best friend. Tahu saja kalau kawanmu ini sedang melayang di udara dan berlarian di tengah lautan awan yang berarak.
                Hening. Kito-senpai masih menunduk di sampingku. Satu, dua, tiga menit berlalu dan ia masih membeku.
                “Kito-senpai?”
                “Riu-san, maukah kau pergi ke festival Tanabata bersama denganku?”
                “Eh?” jawabku spontan. Sungguh ini di luar perkiraanku. Kito-senpai menyukaiku?
                “Tapi… itu pun jika kau sudah sembuh,” imbuhnya lagi.
                “Tentu saja. Aku pasti bisa jika itu dengan Kito-senpai.”
***
                “Apa yang kau tulis di kertas tanzaku, Riu-chan?” tegur Sera yang pagi buta seperti ini sudah menongol di atas kasur kesayanganku. “Tidak turun hujan?” tambahnya lagi.
                “Bukan. Ini rahasia. Tidak akan terkabul jika aku membocorkannya padamu.”
                “Baiklah. Semoga tsuyu tahun ini tidak seekstrim kemarin.”        
                Aku masih sibuk menggantungkan kertas tanzaku di pohon bambu yang sengaja aku taruh di teras lantai atas. Alasannya cuma satu. Permintaanku tidak boleh ada yang tahu.
***
Aku menapaki jalan setapak di tengah padi yang siap merunduk. Warna keemasan terpantul cantik dari bulir-bulir padi yang ikut sumringah ketika hujan tiba. Kini, tak perlu lagi aku risau akan kondisiku. Tangis yang terurai ketika kencanku dengan Kito-senpai gagal di festival Tanabata kemarin hanya bagai angin lalu yang berhembus tanpa meninggalkan jejak. Karena sekarang, aku bisa menggantinya dengan ratusan atau bahkan ribuan kali.
                “Sudah keliling dari mana saja?” sapa Kito-senpai ketika aku mendekatinya yang sedang istirahat bermain sepak bola.
                “Pada akhirnya, sejauh mana pun aku berjalan, akan kembali ke sisi Kito-senpai.”
                “Aku sungguh senang karena hujan takkan lagi memisahkan kita, Riu-chan. Ehm, sepertinya aku harus mengganti panggilanmu, Ame-onna.”
                Di tengah rerintikan tangisan langit, aku menggandeng tangan Kito-senpai yang penuh hangat. Walaupun sejatinya tangan kami tak bersentuhan, senyum dan tatapan matanya telah berhasil melumerkan dinginnya senja kala itu. Oh ya, aku jadi ingat permohonan yang kutulis.
Semoga tahun ini, aku akan tersenyum bersama di tengah hujan dengan Kito-senpai.
Tuhan telah menjawabnya dengan kecelakaan yang aku alami ketika keluar menghampiri Kito-senpai di seberang jalan. Tanpa menghiraukan rambu lalu lintas yang ada, sebuah mobil pembawa sayur mayur menabrakku.

Tulisan ini diikutsertakan dalam tantangan @KampusFiksi dengan tema #GadisZeus
Solo, 4 Agustus 2015
23:12