RENJANA
CILOK CAK NUR
Oleh:
Anisa Ay
Bak
kotak pandora yang tertutup rapat penuh rahasia, memoriku tentangnya pun
demikian. Gigi serinya yang tertata apik selalu menyuguhkan harapan di tengah
kepasrahan. Bahkan hujan lebat di bulan Januari pun harus
tunduk dengan sketsa pelangi di bola mata arangnya. Dia terlalu sempurna untuk
hidup di dunia ini.
***
Sengatan
sang surya terlalu tajam menusuk kulit ari punggung tanganku. Bahkan kaos
tangan yang seperempat jam tadi sudah membalut kelima jariku tak berhasil
mengalahkan intensitas cahaya yang menerpa.
“Kau
masih saja suka cilok Cak Nur? Tempo hari perutmu sakit setelah memakannya,
kan?” ujarku setelah menoleh ke belakang dan mendapati Alin sibuk dengan
santapannya.
“Hehe…
Namanya juga kecanduan, Neng. Anggap saja, kemarin itu khilafnya Cak Nur yang
salah meramu bumbu.”
“Kebiasaanmu.
Semuanya selalu berupa anggapan. Bahkan ketika kau dibully pun, kau selalu bilang anggap saja hiburan,” sanggahku.
“Karena
dengan sebuah anggapan, kita akan menjadi penting bagi seseorang.”
***
Debu-debu
masih asyik nongkrong di atas buku bersampul deragem. Hampir dua tahun ini aku
membiarkannya teronggok di balik kardus-kardus bekas mie instan yang beralih
fungsi menjadi rak dadakan. Mataku pun harus berkedip berulang kali ketika
angin sore kala itu berhembus dan membawa simfoni kerinduan. Lagi, sepasang
lesung pipi yang bertengger di kedua pipi chubbynya
bergelayutan di alam bawah sadarku.
“Apa
kabarmu, Alin?”
***
“Cari
siapa, Lin? Cak Nur?”
“Iya,
Neng. Perasaan dari kemarin abangnya tidak jualan, ya?” jawabnya dengan wajah
sayu.
Dasar,
Alin! Kehilangan abang jualan cilok saja sampai segitunya.
“Lebay
deh, Lin. Jajan yang lain bisa, kan?” jawabku asal.
“Oke.
Anggap saja kali ini aku tidak ingin cilok. Tapi…”
“Apalagi?”
Alin menekuri
tanah di bawah kakinya. Ada kata yang tertahan dan seolah berat untuk ia
katakan.
“Rasa
tidak semudah itu pindah ke yang lain, Neng.”
Ia pun berlalu tanpa menoleh ke arahku lagi.
***
Sekali lagi, aku melihat gigi seri itu
tersenyum dari balik plastik pelindung album SMAku. Rona ceria masih
terpancar dengan anggun ketika ia berpose bak artis papan atas. Hidung peseknya
yang khas telah menyempurnakan sosoknya di mataku.
“Apakah
kau masih ingin makan cilok Cak Nur, Lin?”
***
Tiga empat lima hari
selanjutnya, Alin tak mendapati keberadaan Cak Nur. Aku tangkap kegelisahan yang
terbaca dari bola mata arangnya. Puluhan kali kubujuk ia untuk menyantap
jajanan yang lain tapi selalu dijawab dengan pernyataan yang sama.
“Aku
telah jatuh cinta, Neng. Jatuh cinta pada cilok Cak Nur. Suatu hari, kau akan
merasakannya juga. Pada seseorang.”
Detik
itu, untuk terakhir kalinya aku melihat senyum gigi seri yang tertata rapi itu
hilang.
--ooOOoo—
Tulisan
ini diikutsertakan dalam tantangan @kampusfiksi dengan tema #TentangHilang
Solo, 25 Agustus 2015
22.26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar