Minggu, 19 April 2015

TANTANGAN KAMPUS FIKSI - SEED


SEED
Oleh: Anisa Ay

“Ini terlalu kejam!”
“Kita tidak punya pilihan, Ga.”
“Pasti ada, Drei! Kau tidak akan melakukannya, kan?”
“Alasan kita ke kota yang miskin manusia ini adalah untuk melakukan yang tidak bisa dilakukan orang biasa.”
***
Sebuah pesan singkat masuk.
Awal dari sebuah komunitas menjadi akhir dari komunitas lain.
Ini sebuah misi. Lagi. Aku dan Drei berasa di atas angin jika bos mempercayakan hal krusial kepada kami. Dan satu hal lagi yang berkaitan dengan pesan di atas. Itu bukan permintaan melainkan sebuah perintah.
Aku bersama Drei segera bersiap diri. Peralatan yang kami buat sudah tertata rapi di backpacker kami masing-masing. Lokasi yang kami tuju akan dikirim melalui aplikasi khusus yang dibuat untuk para anggota. Kami sebut Seed. Ya, namanya memang diambil dari kata benih. Karena bagaimana pun juga tugas kami tidak jauh beda dengan tunas yang menerbitkan semburat pelangi setelah hujan deras reda.
“Tujuannya sudah fix, Drei?”
Kami sudah duduk hampir satu jam di dalam APV ini. Drei sendiri malah tertidur pulas dengan mendekapkan kedua lengannya di dada. Dapat dipastikan ia sedang mabuk darat. Apa daya aku harus membiarkannya tenggelam dalam hiatusnya sembari menunggu bunyi ting dari aplikasi bergambar bibit berwarna hijau. Perjalanan ini akan memakan tenaga dan pikiran kami lebih dan lebih dari tugas yang pernah ada.
***
“Tanah ini telah lupa kepada tuannya, Nak. Manusia tak lagi sebagai manusia.”
Kakek berumur hampir seabad itu menyambut kami dengan kelembutan. Kata-katanya yang lugas tidak sedikit pun menunjukkan sifat culas yang terkenal di daerah yang jarang terguyur hujan ini.
“Awalnya, kami pikir ini akan menjadi simbiosis mutualisme antarmakhluk hidup. Lambat laun, kesetimbangan yang ada tidak pernah berjalan mulus. Jalan tol yang katanya bebas hambatan saja masih saja macet apalagi rencana manusia yang penuh cacat, Nak. Situasi sekarang menjadi cambuk bagi kami sendiri.”
Mata kami tidak sekali pun mengudara ke tempat lain. Drei masih dengan sigap menyerap semua informasi yang kami terima untuk selanjutnya diberitahukan ke bos lewat Seed. Sedangkan aku harus menjadi cucu terbaik si kakek, mendengarkan histori desa ini hingga selesai. Paling tidak untuk setengah jam ke depan, aku tidak perlu kopi agar terjaga di tengah malam yang pekat tanpa rembulan.
Esoknya, saat mentari belum genap memeluk bumi, aku sudah mengitari hampir separuh desa. Tidak ada yang aneh. Kakek itu mungkin hanya berlebihan menanggapi situasi yang terjadi. Namun, ketika aku ingin kembali mengecek pesan di Seed, panorama ganjil telah mengusik nurani dan logikaku.
Salah satu rumah yang tampak tak berpenghuni dengan jendela yang sudah lapuk terdengar erangan seekor kucing. Ah bukan, jumlahnya lebih dari satu. Ratusan atau bahkan ribuan. Sorot matanya yang tajam menghujam tepat di organ pernapasanku. Mereka menatapku ibarat sarapan paginya. Kakek benar. Di desa ini, kucinglah sebagai manusianya.
***
“Jika memang ini jalan satu-satunya, kakek siap, Nak.”
Suara kakek yang parau diiringi batuk yang ia derita sejak kemarin malam membuat decak jantungku semakin tidak karuan. Ini bukan jalan terakhir.
“Drei, aku tidak ingin mengorbankan siapapun!”
“Kita hanya melaksanakan misi, Ga. Ini solusi yang diberikan bos kepada kita. Tidak ada bantahan. Itu aturan di Seed. Kau sudah tahu itu sejak awal.”
Kakek mengenggam tanganku erat. Sekilas terlihat sebuah cincin melingkar mesra di jari kelingkingnya. Ah, ini pasti cincin nikahnya dulu bersama sang istri.
“Kakek terlalu mencintai manusia dan desa ini ketimbang hidup kakek yang sudah divonis dengan kanker paru-paru, Nak. Lakukan apa yang Egar perintahkan.” Egar? Kakek bahkan menyebut nama kecil bos kami. Pasti ia sangat dekat dengan bos Seed.
“Tapi, Kek… ra-racun ini harus dikonsumsi manusia terlebih dahulu agar mematikan untuk kucing yang kebal dengan racun biasa itu, Kek.”
Omonganku hanya dibalas dengan anggukan lembut sang kakek. Ia tak menghiraukan resiko yang barusan aku katakan. Di satu sisi aku paham perasaan kakek sebagai sesepuh desa yang ingin menyelamatkan populasi manusia yang semakin menipis. Ini semua akibat populasi kucing yang tak terkendali hingga manusia dan kucing harus saling berebut makanan. Dan entah karena suatau hal, kucing-kucing di desa ini lebih garang dan kuat dari kucing kampung biasa. Inilah misi kami. Membasmi kucing yang bertransformasi.
“Ini, Kek.” Drei memberikan botol berukuran lima puluh milliliter yang berisi cairan berwarna bening. Tampak indah di luar tapi mematikan.
Aku menggeleng berkali-kali mengisyaratkan larangan. Kami bertiga saling tatap. Mengkomunikasikan bahasa hati lewat pandangan mata. Tanpa bicara. Semoga ada jalan terang dibalik hutan keggelapan tak berujung ini.


Tulisan ini diikutsertakan dalam tantangan @KampusFiksi dengan tema #FiksiRacun