Selasa, 04 Agustus 2015

CERPEN TANTANGAN KAMPUS FIKSI


MENGENGGAM HUJAN
Oleh: Anisa Ay


Natsu tiba. Musim di mana yukata yang teronggok hampir setahun di dalam lemari siap dicuci dan diseterika. Namun sepertinya, itu hanya akan jadi memori yang terpendam di dalam palung kerinduanku.
                “Kau sudah menghubungi Kito-kun?” ujar Sera yang terpaku di samping ranjang sejak setengah jam lalu. Di sampingnya, beberapa bungkus es krim dan makanan ringan menggunung di antara komik shonenku.
                “Aku tidak berani. Pasti ia akan menghindariku setelah ini. Mana ada cowok yang akan mendekat jika aku selemah ini,” keluhku setengah mendengus.
                Kito-senpai, siswa biasa dari kelas sebelah yang berhasil membuat ilusi wajahnya di setiap detik kehidupanku. Berlebihan memang. Tapi seperti itulah. Ah, dia memang mirip Yamazaki Kento, ujarku berapi-api saat menceritakan profilnya di depan Sera.
                Sumimasen.”
                “Eh, Kito-kun. Dozou,” seru Sera ketika cowok bermata hazelnut itu menengok dari balik pintu.
                Gawat! Kenapa otou-san tak bilang terlebih dahulu jika ia ke sini. Habislah sudah pesonaku Penampilan berantakan tanpa bedak dengan wajah pucat pasi. Oh, no.
                Arigatou,” balasnya seraya menyerahkan a cup of strawberry cake favoritku.
                Gomenasai. Ini salahku Kito-senpai. Momen bahagia di hari lahirmu menjadi muram karena tragedi kemarin. Seharusnya aku mengatakan padamu tentang fisikku yang tidak kuat terkena air hujan.”
                Daijoubu, Riu-san. Anu… sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu.”
                Kito-senpai memberi jeda sesaat sebelum ia melanjutkan omongannya. Ah, pasti dia ingin bilang padaku untuk tidak dekat-dekat lagi dengannya. Tamat sudah riwayatku. Namaku seolah tertulis di Death Note kepunyaan Yagami Light dan sekarang Ryuk sudah siap sedia menunggu waktunya beraksi, mengurangi sisa umurku. Ah, imajinasiku ketinggian.
                “Ehm, baiknya aku keluar. Silakan bicara berdua.”
                Sera, you’re my best friend. Tahu saja kalau kawanmu ini sedang melayang di udara dan berlarian di tengah lautan awan yang berarak.
                Hening. Kito-senpai masih menunduk di sampingku. Satu, dua, tiga menit berlalu dan ia masih membeku.
                “Kito-senpai?”
                “Riu-san, maukah kau pergi ke festival Tanabata bersama denganku?”
                “Eh?” jawabku spontan. Sungguh ini di luar perkiraanku. Kito-senpai menyukaiku?
                “Tapi… itu pun jika kau sudah sembuh,” imbuhnya lagi.
                “Tentu saja. Aku pasti bisa jika itu dengan Kito-senpai.”
***
                “Apa yang kau tulis di kertas tanzaku, Riu-chan?” tegur Sera yang pagi buta seperti ini sudah menongol di atas kasur kesayanganku. “Tidak turun hujan?” tambahnya lagi.
                “Bukan. Ini rahasia. Tidak akan terkabul jika aku membocorkannya padamu.”
                “Baiklah. Semoga tsuyu tahun ini tidak seekstrim kemarin.”        
                Aku masih sibuk menggantungkan kertas tanzaku di pohon bambu yang sengaja aku taruh di teras lantai atas. Alasannya cuma satu. Permintaanku tidak boleh ada yang tahu.
***
Aku menapaki jalan setapak di tengah padi yang siap merunduk. Warna keemasan terpantul cantik dari bulir-bulir padi yang ikut sumringah ketika hujan tiba. Kini, tak perlu lagi aku risau akan kondisiku. Tangis yang terurai ketika kencanku dengan Kito-senpai gagal di festival Tanabata kemarin hanya bagai angin lalu yang berhembus tanpa meninggalkan jejak. Karena sekarang, aku bisa menggantinya dengan ratusan atau bahkan ribuan kali.
                “Sudah keliling dari mana saja?” sapa Kito-senpai ketika aku mendekatinya yang sedang istirahat bermain sepak bola.
                “Pada akhirnya, sejauh mana pun aku berjalan, akan kembali ke sisi Kito-senpai.”
                “Aku sungguh senang karena hujan takkan lagi memisahkan kita, Riu-chan. Ehm, sepertinya aku harus mengganti panggilanmu, Ame-onna.”
                Di tengah rerintikan tangisan langit, aku menggandeng tangan Kito-senpai yang penuh hangat. Walaupun sejatinya tangan kami tak bersentuhan, senyum dan tatapan matanya telah berhasil melumerkan dinginnya senja kala itu. Oh ya, aku jadi ingat permohonan yang kutulis.
Semoga tahun ini, aku akan tersenyum bersama di tengah hujan dengan Kito-senpai.
Tuhan telah menjawabnya dengan kecelakaan yang aku alami ketika keluar menghampiri Kito-senpai di seberang jalan. Tanpa menghiraukan rambu lalu lintas yang ada, sebuah mobil pembawa sayur mayur menabrakku.

Tulisan ini diikutsertakan dalam tantangan @KampusFiksi dengan tema #GadisZeus
Solo, 4 Agustus 2015
23:12

2 komentar:

  1. Satu lagi mitos di jepang YA~~ keren
    Kalau berkenan mampir juga ke cerita ku "Senandung Maeveen" di wwullandstoryrooms.blogspot.com thanks

    BalasHapus
  2. Ah iya kemarin udah baca tapi setiap mau komen terkendala sinyal, hehe...
    Di jepang terlalu banyak mitos dan terlanjur jatuh hati sih dengan negara itu :) terima kasih sudah membaca

    BalasHapus