BUKANKAH SOLO MASIH PREMATUR?
Solo
yang dikenal dengan semboyan BERSERInya telah memiliki beberapa ruang publik.
Di antaranya Taman Sekartaji, Balekambang, taman di Monumen 45, taman dekat
toko sepatu Sadinoe dan beberapa ruang terbuka hijau yang tidak bernama.
Dulunya, beberapa dari ruang publik tadi adalah pemukiman liar, warung-warung
semi permanen dan ada pula yang berupa tanah kosong tidak terpelihara. Sekarang
wajahnya telah dimake up dan menjadi menarik bagi siapa yang
memandangnya. Namun, bukankah ada kalanya make
up memudar termakan waktu?
Beberapa
fasilitas seperti ayunan, perosotan, rumah-rumahan berkanopi memang sudah
tersedia dengan baik. Namun, toilet dan tempat sampah seolah menjadi sesuatu
yang tidak diperlukan. Padahal, di tempat umum mana pun, kedua fasilitas
tersebutlah yang lebih krusial.
Taman
Tirtonadi contohnya. Sepengetahuan yang saya lihat, tidak dijumpainya toilet
menjadi salah satu penyebab bau tidak sedap yang tercium di pojok-pojok taman. Belum
lagi sampah-sampah yang berserakan dari pengunjung yang tidak dibuang pada
tempatnya. Atau lebih parahnya lagi malah dilempar melewati pagar pembatas
menuju Kali Anyar.
Tentu
saja, tersedianya ruang publik dan ruang terbuka hijau tidak selalu berdampak
positif. Ah, sepertinya untuk kasus yang ini, attitude pribadi masing-masinglah yang menjadi penyebabnya. Ketika lampu-lampu
yang seharusnya digunakan sebagai penerang kala malam menyapa malah dirusak
oleh tangan-tangan jail, maka ruang publik tersebut sering kali dijadikan
tempat pasangan kekasih untuk bertindak neko-neko. Ironis. Mau bagaimana lagi? Mau menyalahkan
pemkot untuk keteledorannya kali ini? Bagaimana kalau kita mencoba untuk
berkaca terlebih dahulu.
Alangkah
menyenangkannya jika kebutuhan ruang publik dan pastinya ruang hijau bukan
dibebankan kepada pemkot semata. Saya sungguh iri kepada negara tetangga yang
minim lahan tapi dapat berinovasi agar “stres” yang diderita warganya dapat
menghilang bersamaan saat berada di ruang publik nan asri. Eits, jangan hanya
dilihat dari sisi enaknya saja, ya. Otomatis ini adalah hasil dari simbiosis
mutualisme antara pemerintah dan warganya. Inisiatif pribadi masing-masing lalu
disambut hangat oleh aparat-aparat di bidangnya. Andaikan saja seperti itu di
Indonesia? #BicaraAndai
Namun,
mimpi tetaplah menjadi mimpi bila kita terbangun tapi hanya mematung. Seperti itulah
tantangan ruang publik di Indonesia. Khususnya di Solo. Perlu banyak berbenah
karena kita hanya pandai membuat tapi bego dalam memilihara. Cerdas menciptakan
anak-anak bangsa yang brilliant
kemudian “membuangnya” ke negeri orang. Analogi yang pas, bukan?
Harapannya,
ketika kita tahu ini salah kaprah, paling tidak ada suatu hasrat yang mencuat
untuk melakukan perubahan. Perubahan akan attitude
yang buruk, pola pikir yang tidak out of
the box dan juga kesadaran yang masih tertidur. Bagaimanapun juga, bukan
lagi disebut simbiosis jika tidak ada tindakan dari masing-masing pemerannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar