Minggu, 01 November 2015

KOMPETISI SAFETY FIRST BERSAMA NULISBUKU.COM


(HANYA) DIALOG

Sudah ratusan kali aku mendengar keluhan dari pengendara yang berlalu lalang siang ini. Panaslah, gerahlah atau debu yang beterbangan tidak karuan. Ini mah baru panasnya, bukan asapnya. Eh.
            Tapi, sama seperti mereka, akupun rindu dekapan sang mendung yang membelaiku dengan bulir-bulir hujan yang jernih.
            “Sudah berapa banyak, Merah?” sapa Kuning.
            Tiap harinya dia akan mengajukan pertanyaan yang sama. Dari mobil dan motor yang nekad melaju atau mengerem mendadak hingga melebihi garis zebra cross, pejalan kaki yang semena-mena berjalan tanpa menggubris rambu-rambu yang ada atau kakek nenek yang kesulitan menyeberang saking ramainya lalu lintas siang itu.
            “Kau ‘kan sudah hafal, Kuning.”
            “Yah, penonton kecewa. Aku pikir bakalan sebanyak orang utan yang tewas di hutan Kalimantan sana,” ujar Kuning kemudian.
            “Hei! Jangan ngomong sembarangan, Kuning. Musibah kok buat bercanda. Mau ikut-ikut mereka yang mengaku lulus sarjana tapi pemikiran tak lebih dari seorang durjana.”
            “Sorry, Merah. Keceplosan.”
            Obrolanku dengan Kuning menggantung ketika sepasang kekasih menghentikan laju motornya. Mereka tampak biasa dengan jaket kulit hitam lengkap dengan sepatu boot dengan warna senada.
            “Maunya sih sok gaya. Tapi nyawa jadi tidak berharga,” ujar Hijau dengan nada tinggi.
            “Biarlah kawan. Manusia itu memang kalau dilarang malah ngeyel. Sekali-kali emang perlu kena batu baru nyadar.”
            Dan hari di mana awan mendung enggan bersua dengan Bumi itu ditutup dengan sebuah kecelakaan tragis. Sepasang kekasih yang berkendara tanpa pelindung kepala tidak bisa mengerem tepat waktu ketika seekor kambing yang digembala bebas tiba-tiba menyeberang tanpa menyalakan lampu signnya plus tidak pakai helm pula. Keduanya terhempas dan terseret beberapa meter dari tempat kejadian. Bahkan mereka belum sadar diri saat dibawa ke rumah sakit oleh warga sekitar yang masih memiliki simpati.
***
            “Aku tetap merasa kasihan dengan korban kemarin. Walaupun itu akibat kecerobohan mereka sendiri, sih,” ucap Hijau mengawali obrolan mereka pagi ini.
            Hari ini, mentari masih belum galak menyengat Bumi. Paling tidak ada beberapa awan putih yang ikut melukis siang dengan keanggunannya.
            “Pasti mereka kapok. Itupun kalau selamat,” timpal Kuning.
            “Hush, kalian ini. Baiknya kita doakan saja mereka tidak mengalami luka yang parah. Aamiin.”
            “Aamiin,” kompak Kuning dan Hujan menjawab.
            Selang beberapa menit kemudian, tanpa ada tanda-tanda, hujan turun dengan lebatnya. Sesekali aku mengusap wajahku agar para pengendara tidak kesulitan melihat cahayaku yang berpendar saat jarak pandang makin menipis. Begitu pula dengan si Kuning dan Hijau. Mereka terus mengeluh karena tetesan hujan mengaburkan pancaran sinar kuning dan hijau kepunyaan mereka. Dalam keadaan seperti ini, manusia harusnya ekstra berhati-hati. Tapi dari yang aku lihat, malah kebalikannya.
            “Ini sudah ketiga kalinya dalam setengah jam ini. Mereka mengabaikanku, Merah,” keluh si Kuning.
             Dia terlalu marah karena pengendara acap kali tak menganggapnya ada dengan terus melajukan motornya walau rambu si Kuning menyala.
            “Dan ini yang keempat, Kuning.”
            Tempat setelah si Hijau berucap, motor matic berwarna hitam dengan corak kuning terpeleset. Ia tidak sanggup mengendalikan kuda besinya dalam track basah. Sejauh yang kulihat tadi, ia malah terus menambah kecepatan ketika detik hijau menunjukkan angka nol. Untungnya jalan dalam keadaan sepi sehingga tidak ada kendaraan lain yang ikut menghantamnya dari arah berlawanan. Namun, kudengar pengemudi tersebut mengerang kesakitan, bersahutan dengan tetes hujan yang makin intens jatuh ke tanah.
            “Haha… Lagian, sih. Sudah tahu merah malah mengebut. Ya begitu, deh, hasilnya,” ledek si Kuning.
            Aku mendengus kesal. Mungkin karena efek sering dicuekin, kadar simpati dan empati dalam dirinya ikut berkurang. Menyalahkan orang lain memang lebih enteng ketimbang melihat kekurangan diri sendiri. Aku sering membahasnya bersama Kuning dan Hijau. Namun, kelihatannya itu belum bisa masuk dalam pola pikir Kuning. Sukar juga sih mengubah pola pikir seseorang yang sudah mengakar. Termasuk aku.
            “Tapi dia baik-baik saja. Syukur deh,” ucap Hijau.
            “Kamu membela dia, Hijau?” tanya Kuning.
            “Bukan begitu. Manusia itu tidak seperti kita. Benda mati yang bisa diperbaiki apabila rusak. Mereka itu bernyawa. Sekali saja meninggal, tidak ada lagi kesempatan untuk menghirup oksigen. Sungguh ironis jika mereka harus kehilangan nyawa karena kecerobohan-kecerobohan kecil tanpa sengaja.”
            “Mereka saja tidak peduli dengan kesempatan hidup itu,” sanggah Kuning.
            “Karena kita hanya melihat dari satu sudut pandang saja,” imbuhku.
Ini timing yang pas untuk bicara pelan-pelan dan menjelaskan semuanya kepada kawanku ini. Semoga dia paham.
“Masih ingat kecelakaan sepasang kekasih kemarin, Kuning?”
“Aku selalu hafal para pelanggar lalu lintas. Tidak perlu kau ragukan ingatanku tentang ini,” sulut Kuning.
“Mereka tidak membawa helm bukan berarti mereka tidak ingin. Mungkin sebelum sampai di perempatan sini, helm yang mereka bawa bisa saja dicuri.”
“Ah, itu ‘kan hanya perumpamaan kamu saja, Merah. Mana ada kemungkinan seperti itu. Mustahil.”
“Tepat sekali. Aku tidak akan membenarkan tindakan mereka yang tidak mengenakan helm ini. Aku hanya ingin mengatakan bahwa permasalahan tidak hanya dilihat dari kedua bola mata kita. Tapi juga pandangan dari orang lain.”
Kuning terdiam. Ah, ini pertanda bagus. Paling tidak, ia mau mendengarkan omonganku sampai selesai. Hijau pun terlihat serius mengamati mimik bibirku. Seolah tidak boleh ada kata yang terlewat untuk ia dengarkan.
Kebisuan di antara kami bertiga pecah saat angin yang berkecepatan seratus lima puluh knot bertiup dari utara ke selatan. Tenaganya berhasil meliukkan kerangka besi tempat kami disangga. Bahkan papan reklame sebesar tujuh meter ikut menari ketika angin tersebut datang. Kulihat beberapa pengendara motor takut untuk melanjutkan perjalanan mereka. Walaupun dalam hitungan jari masih ada yang nekad melaju. Bahkan lebih parahnya lagi menerobos lampu merah yang masih menyala. Tidak terkena hujan nomor satu dan nyawa adalah nomor dua. Miris
“Eh!” seru Hijau.
Aku melirik ke arahnya diikuti Kuning. Tidak biasanya si kalem itu berteriak hingga terdengar walau hujan sedang turun dengan derasnya.
“Ada apa, Hijau?” tanyaku dan Kuning bersamaan.
“Lampuku tidak bisa menyala. Bagaimana ini, Merah, Kuning?”
“Jangan-jangan ada kabel yang korsleting. Gawat! Padahal keadaan sedang tidak karuan gini,” jawab Kuning. Sekilas kulihat raut kekhawatiran yang tulus memancarkan dari wajahnya.
Aku sendiri terdiam. Percuma jika berucap tapi tidak bisa memberikan solusi apalagi malah memperkeruh keadaan.
“Lho! Punyamu juga, Kuning!” teriak Hijau sambil menunjuk Kuning.
“Sial! Apa yang bisa kita lakukan, Merah? Bagaimanapun aku ingin mencegah terjadinya kecelakan di tengah guyuran hujan ini?”
“Merah! Lampumu juga sudah mati sekarang,” seru Hijau lagi.
“Tidak ada yang bisa kita lakukan, Kawan. Kali ini, Tuhan sedang menguji kita.”
“Menguji? Maksudmu, Merah?”
“Kita sudah merasa terlalu sombong dengan mendikte manusia mana yang salah dan mana yang benar. Seolah-olah kita tidak pernah melakukan kesalahan. Dan sekarang, kita hanya akan menjadi penonton di perempatan ini tanpa bisa berbuat apa-apa sampai manusia memperbaiki kita.”
“Tapi, bagaimana kalau terjadi kecelakaan beruntun seperti yang pernah kita dengar dari sopir truk yang bercakap dengan kawannya kemarin?”
“Jalanan lebih kejam dari medan pertempuran, Kuning. Di sini teman dan musuh sama saja. Jika tidak ada toleransi antara pengendara, semuanya sia-sia. Dan semoga manusia sekarang masih mempunyainya.”
--ooOOoo--


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Tertib, AMan, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar