(HANYA) DIALOG
Sudah ratusan kali aku mendengar
keluhan dari pengendara yang berlalu lalang siang ini. Panaslah, gerahlah atau
debu yang beterbangan tidak karuan. Ini mah baru panasnya, bukan asapnya. Eh.
Tapi,
sama seperti mereka, akupun rindu dekapan sang mendung yang membelaiku dengan
bulir-bulir hujan yang jernih.
“Sudah
berapa banyak, Merah?” sapa Kuning.
Tiap
harinya dia akan mengajukan pertanyaan yang sama. Dari mobil dan motor yang
nekad melaju atau mengerem mendadak hingga melebihi garis zebra cross, pejalan kaki
yang semena-mena berjalan tanpa menggubris rambu-rambu yang ada atau kakek
nenek yang kesulitan menyeberang saking ramainya lalu lintas siang itu.
“Kau
‘kan sudah hafal, Kuning.”
“Yah,
penonton kecewa. Aku pikir bakalan sebanyak orang utan yang tewas di hutan
Kalimantan sana,” ujar Kuning kemudian.
“Hei!
Jangan ngomong sembarangan, Kuning. Musibah kok buat bercanda. Mau ikut-ikut
mereka yang mengaku lulus sarjana tapi pemikiran tak lebih dari seorang
durjana.”
“Sorry,
Merah. Keceplosan.”
Obrolanku
dengan Kuning menggantung ketika sepasang kekasih menghentikan laju motornya. Mereka
tampak biasa dengan jaket kulit hitam lengkap dengan sepatu boot dengan warna senada.
“Maunya
sih sok gaya. Tapi nyawa jadi tidak berharga,” ujar Hijau dengan nada tinggi.
“Biarlah
kawan. Manusia itu memang kalau dilarang malah ngeyel. Sekali-kali emang perlu kena batu baru nyadar.”
Dan
hari di mana awan mendung enggan bersua dengan Bumi itu ditutup dengan sebuah
kecelakaan tragis. Sepasang kekasih yang berkendara tanpa pelindung kepala
tidak bisa mengerem tepat waktu ketika seekor kambing yang digembala bebas
tiba-tiba menyeberang tanpa menyalakan lampu signnya plus tidak pakai
helm pula. Keduanya terhempas dan terseret beberapa meter dari tempat kejadian.
Bahkan mereka belum sadar diri saat dibawa ke rumah sakit oleh warga sekitar
yang masih memiliki simpati.
***
“Aku
tetap merasa kasihan dengan korban kemarin. Walaupun itu akibat kecerobohan
mereka sendiri, sih,” ucap Hijau mengawali obrolan mereka pagi ini.
Hari
ini, mentari masih belum galak menyengat Bumi. Paling tidak ada beberapa awan
putih yang ikut melukis siang dengan keanggunannya.
“Pasti
mereka kapok. Itupun kalau selamat,” timpal Kuning.
“Hush,
kalian ini. Baiknya kita doakan saja mereka tidak mengalami luka yang parah. Aamiin.”
“Aamiin,”
kompak Kuning dan Hujan menjawab.
Selang
beberapa menit kemudian, tanpa ada tanda-tanda, hujan turun dengan lebatnya. Sesekali
aku mengusap wajahku agar para pengendara tidak kesulitan melihat cahayaku yang
berpendar saat jarak pandang makin menipis. Begitu pula dengan si Kuning dan
Hijau. Mereka terus mengeluh karena tetesan hujan mengaburkan pancaran sinar
kuning dan hijau kepunyaan mereka. Dalam keadaan seperti ini, manusia harusnya
ekstra berhati-hati. Tapi dari yang aku lihat, malah kebalikannya.
“Ini
sudah ketiga kalinya dalam setengah jam ini. Mereka mengabaikanku, Merah,”
keluh si Kuning.
Dia terlalu marah karena pengendara acap kali
tak menganggapnya ada dengan terus melajukan motornya walau rambu si Kuning
menyala.
“Dan
ini yang keempat, Kuning.”
Tempat
setelah si Hijau berucap, motor matic
berwarna hitam dengan corak kuning terpeleset. Ia tidak sanggup mengendalikan
kuda besinya dalam track basah. Sejauh
yang kulihat tadi, ia malah terus menambah kecepatan ketika detik hijau
menunjukkan angka nol. Untungnya jalan dalam keadaan sepi sehingga tidak ada
kendaraan lain yang ikut menghantamnya dari arah berlawanan. Namun, kudengar pengemudi
tersebut mengerang kesakitan, bersahutan dengan tetes hujan yang makin intens
jatuh ke tanah.
“Haha…
Lagian, sih. Sudah tahu merah malah mengebut. Ya begitu, deh, hasilnya,” ledek
si Kuning.
Aku
mendengus kesal. Mungkin karena efek sering dicuekin, kadar simpati dan empati
dalam dirinya ikut berkurang. Menyalahkan orang lain memang lebih enteng
ketimbang melihat kekurangan diri sendiri. Aku sering membahasnya bersama Kuning
dan Hijau. Namun, kelihatannya itu belum bisa masuk dalam pola pikir Kuning. Sukar
juga sih mengubah pola pikir seseorang yang sudah mengakar. Termasuk aku.
“Tapi
dia baik-baik saja. Syukur deh,” ucap Hijau.
“Kamu
membela dia, Hijau?” tanya Kuning.
“Bukan
begitu. Manusia itu tidak seperti kita. Benda mati yang bisa diperbaiki apabila
rusak. Mereka itu bernyawa. Sekali saja meninggal, tidak ada lagi kesempatan
untuk menghirup oksigen. Sungguh ironis jika mereka harus kehilangan nyawa
karena kecerobohan-kecerobohan kecil tanpa sengaja.”
“Mereka
saja tidak peduli dengan kesempatan hidup itu,” sanggah Kuning.
“Karena
kita hanya melihat dari satu sudut pandang saja,” imbuhku.
Ini timing yang pas untuk bicara pelan-pelan dan menjelaskan semuanya
kepada kawanku ini. Semoga dia paham.
“Masih ingat kecelakaan sepasang
kekasih kemarin, Kuning?”
“Aku selalu hafal para pelanggar
lalu lintas. Tidak perlu kau ragukan ingatanku tentang ini,” sulut Kuning.
“Mereka tidak membawa helm bukan
berarti mereka tidak ingin. Mungkin sebelum sampai di perempatan sini, helm
yang mereka bawa bisa saja dicuri.”
“Ah, itu ‘kan hanya perumpamaan
kamu saja, Merah. Mana ada kemungkinan seperti itu. Mustahil.”
“Tepat sekali. Aku tidak akan
membenarkan tindakan mereka yang tidak mengenakan helm ini. Aku hanya ingin
mengatakan bahwa permasalahan tidak hanya dilihat dari kedua bola mata kita. Tapi
juga pandangan dari orang lain.”
Kuning terdiam. Ah, ini pertanda
bagus. Paling tidak, ia mau mendengarkan omonganku sampai selesai. Hijau pun terlihat
serius mengamati mimik bibirku. Seolah tidak boleh ada kata yang terlewat untuk
ia dengarkan.
Kebisuan di antara kami bertiga
pecah saat angin yang berkecepatan seratus lima puluh knot bertiup dari utara
ke selatan. Tenaganya berhasil meliukkan kerangka besi tempat kami disangga. Bahkan
papan reklame sebesar tujuh meter ikut menari ketika angin tersebut datang. Kulihat
beberapa pengendara motor takut untuk melanjutkan perjalanan mereka. Walaupun dalam
hitungan jari masih ada yang nekad melaju. Bahkan lebih parahnya lagi menerobos
lampu merah yang masih menyala. Tidak terkena hujan nomor satu dan nyawa adalah
nomor dua. Miris
“Eh!” seru Hijau.
Aku melirik ke arahnya diikuti
Kuning. Tidak biasanya si kalem itu berteriak hingga terdengar walau hujan
sedang turun dengan derasnya.
“Ada apa, Hijau?” tanyaku dan
Kuning bersamaan.
“Lampuku tidak bisa menyala. Bagaimana
ini, Merah, Kuning?”
“Jangan-jangan ada kabel yang
korsleting. Gawat! Padahal keadaan sedang tidak karuan gini,” jawab Kuning. Sekilas
kulihat raut kekhawatiran yang tulus memancarkan dari wajahnya.
Aku sendiri terdiam. Percuma jika
berucap tapi tidak bisa memberikan solusi apalagi malah memperkeruh keadaan.
“Lho! Punyamu juga, Kuning!”
teriak Hijau sambil menunjuk Kuning.
“Sial! Apa yang bisa kita
lakukan, Merah? Bagaimanapun aku ingin mencegah terjadinya kecelakan di tengah
guyuran hujan ini?”
“Merah! Lampumu juga sudah mati
sekarang,” seru Hijau lagi.
“Tidak ada yang bisa kita
lakukan, Kawan. Kali ini, Tuhan sedang menguji kita.”
“Menguji? Maksudmu, Merah?”
“Kita sudah merasa terlalu
sombong dengan mendikte manusia mana yang salah dan mana yang benar. Seolah-olah
kita tidak pernah melakukan kesalahan. Dan sekarang, kita hanya akan menjadi
penonton di perempatan ini tanpa bisa berbuat apa-apa sampai manusia
memperbaiki kita.”
“Tapi, bagaimana kalau terjadi
kecelakaan beruntun seperti yang pernah kita dengar dari sopir truk yang
bercakap dengan kawannya kemarin?”
“Jalanan lebih kejam dari medan
pertempuran, Kuning. Di sini teman dan musuh sama saja. Jika tidak ada
toleransi antara pengendara, semuanya sia-sia. Dan semoga manusia sekarang
masih mempunyainya.”
--ooOOoo--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar