Setiap
kisah, baik fiksi maupun nyata, selalu ada tokoh utama dan figuran. Tokoh utama
selalu protagonis (walaupun ada yang secuil antagonis) dan yang sangat mengenaskan
adalah jika sudah jadi figuran ditambah peran antagonis. Gak bisa dibayangin
deh. Jika beneran ada orang kayak gitu di dunia nyata, kasihan sekali ia. Sudah
gak bahagia di dunia begitu pula di akhirat. Dan gue gak mau jadi yang
begituan. Dalam skenario hidup gue, harapannya tokoh utama dan antagonis adalah
gue.
Siang
itu, hari dengan awan putih yang biasa berarak di langit yang biru, gue sebut diri gue dengan Mawar. Ah, jangan deh. Nanti
dipikir gue …. Akhir-akhir ini mawar jadi punya konotasi negatif gara-gara
media sering menggunakannya dalam inisial korban kejahatan. Kalo gitu dengan
gagah berani dan tanpa tedeng aling-aling, sebut gue Mawar (loh, akhirnya tetap
Mawar juga). Eh, jangan deh. Gue harus menghargai nih pemberian nama terbaik
dari kedua orang tua gue. Jeng jeng jeng… gue Aya, gadis bungsu yang doyan mie
ayam dan steak serta hobi tidur di mana pun tempatnya.
***
“Assalamu’alaikum,
pak. Saya Aya, mahasiswa bimbingan Bapak yang ingin konsultasi. Maaf apa besok
Bapak ada waktu luang? Begitu menurut kamu?” ujar gue pada temen gue untuk
meminta saran.
Dia
malah sibuk main game Parampaa. Zaman dulu belum ada CoC atau Get Rich yang boomingnya gak karuan kayak sekarang.
Ada Onet di laptop aja udah sujud syukur alhamdulillah. Eh, hlo. Tiba-tiba jadi
ngomongin game jadul kayak gini. Tapi
gak papa lah, hanya sekedar nostalgila beberapa detik saja. Nostalgia
maksudnya.
“Boleh-boleh.
Tapi lebih sopan lagi kalo loe telpon langsung aja. Ga punya pulsa loe?” sindir
teman gue yang masih berkutat dengan Parampaanya di level lima.
Mungkin
jika di dekatnya ada segepok kerikil sebesar buah kelapa bakalan gue lempar
secepat kilat ke arahnya. Tapi setelah celingak celinguk kanan kiri depan
belakang, gue malah dapat serenteng makanan ringan lima ratusan yang dijual di
Sekretariat HMP Fisika. Hari ini dia beruntung.
Setelah
gue pikir dengan jurus seribu bayangannya Naruto ditambah Saringannya Sasuke (hubungannya apa coba?), gue putusin buat telpon
dosen pembimbing pertama gue. Sebut saja Pak Je. Karena kantor beliau tidak
segedung dengan tempat kuliah gue, alhasil gue harus apel ke tempat Bapak
penyuka drama Saeguk[1] itu. Dan firasat gue tidak meleset sama
sekali. Beliau baru sibuk mengotak atik USB dengan solder plus menonton drama korea Dong Yi. Speechless.
Maka,
konsultasi siang itu lebih dominan gue nemenin beliau nonton Dong Yi ketimbang
merevisi bab satu dua tiga dari skripsi gue yang udah ditodong harus selesai
dalam waktu kurang dari enam bulan. Kalo enggak, gue diskatmat mbak gue buat bayar SPP sendiri. Dari mana dapat uang
segitu? Les privat sih iya, tapi uangnya cuma mampir di dompet paling lama
sepekan terus menghilang kayak layangan yang kalah tanding. Ngeneslah.
“Ga usah suwe-suwe, Mbak. Ndang cepet trus
gek ndadang lulus, ya? Pokok e kudu sregep sing revisi[2],” ujar
beliau di akhir obrolan kami sore itu.
Gue
berasa kayak tanaman yang udah sakaratul maut lalu disiram dengan air segar
ditambah pupuk pemberi kehidupan. Lega! Dosen pembimbing gue support keinginan gue. Alhamdulillah.
Dosen pembimbing satu clear.
Mari
ke Bapak De. Beliau adalah dosen pembimbing skripsi kedua gue. Harapannya sih
moga-moga juga lancar-lancar aja. Tapi …
“Dua bulan lagi saya pensiun, Mbak? Pripun?
Mbak e ganti dosen pembimbing aja, ya[3]?” usul beliau kepada
gue.
Dan
jadilah gue patung dalam beberapa menit. Tapi bukan patung batu kayak Malin
Kundang hlo, ya? Gue ‘kan bukan anak durhaka. Baik hati, tidak rajin menabung
dan suka menolong. Gue mah gitu orangnya.
“Gimana,
Mbak?” tanya Pak De yang melumerkan kebekuan gue.
“Pripun, nggih, Pak[4]?” jawab
gue penuh ragu.
Hening
sesaat. Percakapan gue dengan beliau berubah menjadi dingin tanpa sahutan dari
masing-masing kami. Sampai, angin kehidupan gue datang dari arah yang tak
terduga.
“Atau
gini aja, Mbak. Sebelum saya pensiun, Mbak harus menyelesaikan skripsinya.
Gimana?”
Mak
nyes. Allah selalu memberikan
skenario terbaikNya di saat yang paling riskan dan dibutuhkan. Sungguh di luar
dugaan. Otomatis gue sambut saran Pak De dengan wajah sesumringah mungkin.
“Iya,
Pak. Terima kasih.”
Gue
berasa dapat durian runtuh. Eh! Ogah ah! Sakit kali dapat buah berduri tajam
nan garang itu jatuh di atas kepala gue. Kayak adonan kue yang diuleni dan
dibanting gak jelas biar tidak bantat.
***
“Apaaaa?!
Minimal pendaftaran pendadaran hari Jum’at? Ini udah Senin, kan?” tanya gue
untuk memastikan omongan temen gue yang baru keluar dari kantor bagian
pendidikan.
Dia
baru aja mencetak form sidangnya yang
dilaksanakan sepekan lagi. Kemarin-kemarin dia udah angkat bendera putih.
“Ya
udahlah, Aya. Gue ikut wisudanya bulan Desember aja. Udah nyerah gue. Pak Ef
susah banget dibujuk untuk ujian pekan depan. Lagipula, makalah gue juga belum
fix beneran,” keluhnya saat gue menanti kedatangan Pak De untuk meminta
persetujuan sidang.
“Jangan,
dong! Ini kan baru bulan Juli. Kelamaan kalo mesti nunggu wisuda Desember.
Harus September, Teman! Lagian kamu gak mubazir tuh ngeluarin uang SPP cuma-cuma?”
bantah gue.
Walaupun
uang semesterannya gak nyampe tujuh digit, gue tetap merasa harus perjuangin
ini sampai akhir.
“Gue
gak akan bilang kalau loe pasti berhasil jika berjuang sekuat tenaga, tapi jika
loe menyerah sekarang, sudah pasti loe tidak akan berhasil,” imbuh gue.
Dan
provokasi gue berhasil. Sekarang dia tinggal tunggu tanggal mainnya buat
syuting. Eh, buat pendadaran maksudnya.
“Buruan,
Loe! Gak asyik, nih kalo loe yang udah nyemangatin gue tapi malah loe yang
mlempem,”teriaknya buat menyemangati gue.
Gue
sih juga pengen segera daftarin diri gue ke bagian pendidikan. Tapi itu gak
segampang kayak gue ketuk pintu, bilang salam terus minta didaftarin online. Gue harus melewati satu benteng
besar dulu sebelumnya. Dan benteng itu bernama benteng Takeshi. Hehe… bukan
dong, ya. Emang game yang gak tahu
siapa pemenangnya itu.
Jadi
hari ini gue harus mendapat izin dulu dari Pak Es dan meminta dosen penguji
dari beliau. Nah, di sini ini nih problemnya.
Beliau dikenal dengan dosen yang perfeksionis. Syarat harus komplit, tanda baca
di skripsi gak boleh ada yang salah, typo-typo
gak bakalan ditemukan jika beliau jadi dosen pembimbing skripsi (untung gue
enggak).
Dan
diketuklah pintu berkaca itu sebanyak dua kali. Seorang lelaki paruh baya yang
berumur hampir lima puluh tahunan duduk di depan meja kerjanya menyambut gue.
“Permisi,
Pak.”
“Monggo,
Mbak[5]. Mau minta dosen penguji?” tanya beliau datar.
“Nggih,
Mbak[6]?”
“Kelengkapannya
mana?”
Gue
sodorin syarat-syarat yang dibutuhkan untuk diizinkan Pak Es mendaftar ujian
pendadaran. Dari makalah skripsi yang lengkap, bukti penyelesaian tugas akhir
yang lain—seminar dan eksperimen fisika—transkip nilai dan kawan-kawannya.
“Lha
ini kok belum ada tandatangan pembimbing kedua di buku konsultasi, Mbak?” tanya
beliau masih dengan wajah datar.
Skakmat.
Gue gak berkutik. Emang salah gue juga sih. Soalnya, seinget gue, konsultasi ke
pimbimbing dua cuma ada dalam hitungan jari dan itu pun gue gak pernah bawa
buku konsultasi.
“Dilengkapi
dulu, Mbak!” pinta beliau.
“Iya,
Pak. Besok insyaallah saya ke sini lagi, Pak.”
“Besok
saya gak di sini, Mbak. Ada ujian PPG dan saya jadi pengawasnya. Senin, ya?”
ujar Pak Es.
Gue
pun hanya berani mengangguk. Padahal di dalam hati geleng-geleng. Bagaimana
tidak, hari Jum’at adalah deadline terakhir gue untuk ngedate dengan petugas bagian pendidikan alias mendaftarkan nama gue
sebagai peserta sidang skripsi. Ya Allah, apa gue kudu lambaikan tangan ke
kamera?
Namun,
lagi-lagi, selain rezeki yang datangya dari arah yang tidak terduga,
pertolongan Allah pun juga begitu.
Akhirnya
pas hari Jum’at mendekati adzan, dua nama dosen penguji berhasil gue kantongin.
Jadi kemarin, pas gue keluar dari kantor Pak Es dengan badan lunglai, temen gue
yang lain, sebut saja Mbak An, mengalami nasib serupa. Lebih parahnya lagi, dia
belum dapat acc untuk tugas akhir seminar fisika. Gue bantu dia untuk bertemu
dengan dosen gue pengampu seminar fisika, mendatangi rumah beliau. Soalnya
beliau sedang sakit sehingga tidak pergi ke kampus.
Berhasil!
Dia
dapat tanda tangannya. Saat itu hari Kamis dan matahari sudah kembali ke tempat
hiatusnya sesaat digantikan sahabatnya, rembulan. Kami belum mau menyerah. Kami
mah gitu orangnya.
Jum’at
pagi menjelang siang, gue dan Mbak An memiliki misi yang sama. Menemui Pak Es
dan mendapatkan tanda tangannya. Setelah menunggu hampir satu jam, beliau
keluar dari kelas dan kami langusng menghambur ke arahnya. Tanpa ba bi bu lagi,
kami langsung berusaha keras membujuk beliau. Dan… jeng jeng jeng. Kami
berhasil (lagi). Menurut gue, Pak Es ini termasuk tipe dosen yang menguji
semangat mahasiswa untuk berusaha terus atau menyerah saat itu juga. Hehe…
Namun,
cerita gue ini tak berakhir happy ending kayak dongeng Cinderella.
Faktanya, gue gak berhasil wisuda di bulan September dikarenakan salah satu
dari dosen gue gak bisa hadir jika ujiannya diselenggarakannya pekan depan.
Dengan berat hati dan senyum memaksa, gue harus say goobye dengan bulan
September dan memberikan ucapan selamat datang kepada bulan Desember. Namun,
gue gak pernah sekali pun menyesal karena mati-matian berusaha. Bagi gue, usaha
itu tidak akan pernah sia-sia walaupun tidak membuahkan hasil layaknya pemain
cadangan dalam sebuah pertandingan olah raga.
Gue
kembangkan rona merah muda di pipi dan berkata ‘gue mah gitu orangnya’.
[1]
drama kolosal Korea
[2]
“Tidak usah lama-lama, Mbak. Cepat selesai dan lulus, ya? Yang jelas harus
rajin untuk revisi.”
[3]
“Dua bulan lagi saya pensiun, Mbak? Bagaimana? Apa ganti dosen pembimbing
saja?”
[4]”Bagaimana,
ya, Pak?”
[5]“Silahkan,
Mbak.”
[6]”Iya,
Mbak?”
Tips dan Tips:
1.
Kenali diri dan dosen loe. Gak semua dosen
pengagum mahasiswa super pintar. Adakalanya beliau lebih respect pada
mahasiswanya yang benar-benar serius dengan melihat kegigihan mahasiswanya
menemui beliau.
2.
Seberapa pun kita berusaha tetaplah
Allah yang menentukan hasilnya. Jadi tetap doa, berusaha dan tawakal. Karena
kita tidak hanya membujuk dosen tetapi juga Allah, Maha dari segala Maha.
3.
Katakan pada diri loe : ‘jika gue
menyerah sekarang, selamanya gue tidak akan berhasil’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar