Senin, 16 Mei 2016

CERPEN - POTRET

Awalnya, cerpen ini diikutsertakan dalam lomba cerpen bersama fabercastel. berhubung tidak menang, maka saya posting saja di blog :)


POTRET

“An, kamu baik-baik saja?” tanya Zain.
            Sekali pun Angel mengangguk sebanyak hitungan jari tangan kanannya, toh, wajahnya jelas melukiskan hal sebaliknya. Ia kedinginan.
            “Aku masih kuat kok. Bentar lagi sampai di pos III, kan?” sanggah Angel dengan sedikit menyunggingkan senyuman.
            Ulin, Angel, Zain, Frans dan Nika memulai pendakian Gunung Lawu lima jam yang lalu. Ini untuk pertama kalinya bagi Angel menuju Hargo Dumilah via Cemoro Kandang. Tahun yang lalu, ketika liburan tiba, mereka sepakat untuk mendaki gunung yang membatasi Jawa Tengah dan Jawa Timur ini lewat jalur yang sedikit terjal.
            “Kamu bagaimana, Nika?” Zain melempar pertanyaan yang sama untuk teman perempuan satunya dalam perjalanan ini.
            “Sehat, Bos!” jawan Nika sekenanya. Tampilan Nika memang terlihat feminim, tapi dalamnya, cowok banget.
            “Eh, posnya udah kelihatan Zain,” ujar Ulin yang memimpin rombongan disusul Frans di belakangnya.
            “Alhamdulillah. Ayo Angel sedikit lagi,” seru Zain dan Nika yang berada di belakangnya.
***
            “Gue udah bilang kok ke Zain dari awal. Tapi dia bilang nggak masalah,” bisik Frans kepada Ulin.
Keduanya kini tengah mengopi di luar tenda yang setengah jam lalu baru didirikan.
            “Masa’ sih? Bukannya Zain udah sering bolak balik ke sini, ya? Mestinya dia udah paham pantangan-pantangan di gunung ini?” jawab Ulin.
Frans pun hanya mengangkat membahunya, menandakan kurang tahu. “Tapi sejauh ini, memang baik-baik saja,” imbuhnya kemudian.
            Di belakang pos IV, Zain dan Nika baru saja menyelesaikan sholat Asharnya sedangkan Angel tengah menenggelamkan dirinya dalam jaket waterproofnya. Entah apa yang dirasakan, ada sesuatu yang mengganggunya.
***
            “Yeay!” kompak berlima berteriak di atas Hargo Dumilah. Setelah berjalan sepuluh menit dari persimpangan Hargo Dalem dan Hargo Dumilah mereka sampai di ujung jalan Gunung Lawu.
            “Wajah kamu pucat, An. Kembali ke warung Mbok Yem dulu yuk,” ajak Nika yang disetujui oleh keempat teman yang lainnya.
            “Iya, Nik. Tapi tolong fotoin dulu, ya?”
            “Yaelah. Masih sempet-sempetnya minta foto. Dasar cewek,” seloroh Frans.
            Lima belas jepretan dari action camera yang dibawa Angel mengakhiri sesi pemotretannya di atas 3265 mdpl yang kemudian berpindahtangan kepada Frans. Sebenarnya dia pun gila kamera hanya tengsin.
            Angel berjalan menuju warung Mbok Yem tempat mereka menginap semalam. Ditemani Nika dan Zain yang membantunya membawa carrier, Angel sudah bersandar di pinggir warung.
            “Tidak apa-apa, An? Kuat kan untuk nanti turun?” tanya Zain khawatir.
            “Siap, Bos!” ungkap Angel menirukan Nika. “Aku cuma sedikit kedinginan,” imbuhnya kemudian.
            “Pakai ini dulu. Aku masih punya satu di dalam carrier.” Zain memberikan jaket windproofnya kepada Angel beserta teh panas yang ia pesan dari Mbok Yem.
            “Cie! Aku jadi obat nyamuk nih,” ledek Nika.
            “Daripada jadi nyamuknya, Nik,” balas Zain.
            Pipi Angel bersemu merah. Kenapa kita memanggil Tuhan dengan nama yang berbeda, Zain?
            ***
            “Nik, pernah dengar nggak kalo mendaki di sini nggak boleh berjumlah ganjil?” bisik Ulin kepada Nika. Sekarang posisi mereka berubah. Frans di depan disusul Angel, Zain, Nika dan Ulin.
            “Heh? Pernah dengar sih. Emang kenapa, Bro?” tanya Nika keheranan.
            “Terus kamu nggak khawatir nih. Kita berlima. Ganjil.”
            “Entahlah. Aku tidak percaya sih, Ul.”
            “Semoga.”

sumber: akuphoto.co.id

            Dua jam kemudian mereka sudah kembali ke titik nadir dari pendakiannya. Zain sudah membawa tiga gelas kopi hangat disusul Frans dengan dua gelas teh panas.
            “Eh, lihat hasil jepretannya tadi dong!” pinta Nika yang sudah menghabiskan setengah gelas kopinya dalam satu dua seruputan.
            Nika memencet tombol lingkaran berukuran seperempat inci untuk melihat hasil kamera milik Angel. Dari pos I dengan pemandangan sayur-mayur kepunyaan warga, sumber air panguripan hingga pos V yang dipenuhi ilalang serta bunga edelweiss pum tidak luput dari jepretan kamera berwarna merah cabe ini.
            “Wah, kamu kalau lagi sholat keliatan alim, Nik,” ledek Ulin.
            “Gue setuju, Lin. Eh, tapi loe juga keliatan keren kalau sedang ngopi bareng gue. Secara ketularan aura kegantengan gue sih,” timpal Frans tetap dengan bahasa loe gue nya.
            “Iya, nih. Kamu pinter ambil anglenya, An?” imbuh Zain yang langsung mengarahkan pandangannya ke Angel. Wajahnya lebih segar sekarang.
            “Ambil gambar kalian? Kapan?” sanggah Angel. Perasaan kemarin aku tepar saat mereka masih terjaga.
            Nika pun menunjukkan gambar yang ia maksud. Tentu saja ketiga temannya yang lain mempunya tanda tanya yang besar di atas kepalanya.
            “Sumpah demi Tuhan. Aku tidak mengeluarkan kamera itu sejak kita tiba di pos III dan baru mengambilnya kemarin saat kita tiba di Hargo Dumilah.”
            Angel pun terus menggeser foto-foto yang tersimpan di kameranya. Hingga bola mata cokelatnya membulat saat gambar dirinya yang membentangkan tangan di latarbelakangi awan terlihat janggal. Di sampingnya ada seseorang. Ah, bukan. Sesuatu yang sedang tersenyum.
            Kelima sahabat itu pun saling lempar pandang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar