Rabu, 04 Maret 2015

CERPEN BUAT SELEKSI KAMPUS FIKSI 2015-2017

Awalnya nulis cerpen ini buat antologi dari penerbit indie, tapi karena kurang sreg endingnya aku edit bentar untuk seleksi kampus fiksi reguler 2015-2017 yang diadain penerbit diva press..tapi karena mungkin belum jodoh,emailnya ga masuk.. T.T
Karena itu..diposting di blog aja deh

POHON SRIKAYA, INI RAHASIA KITA…

Seorang siswi yang dalam tahapan untuk tidur di kelas, tersentak setelah teman sebangkunya menyenggol sikunya cukup keras.
“Haya, bangun! Itu nama kamu dipanggil!” Haya berusaha membuka matanya yang seolah – olah digantungi lima kilogram beras. Sungguh berat.
“Aku dipanggil? Oleh siapa?” Haya masih ragu mendengar informasi yang ia dapatkan dalam kondisi setengah sadar.
Teman sebangkunya itu hanya diam sambil mengangkat jari telunjuk dan mengarahkannya ke speaker yang tergantung di atas pojok kelas.
“Ke kantor guru?”
Setengah hati Haya bangkit dan meminta ijin kepada guru yang mengajar saat itu.

Setelah berjalan gontai beberapa menit, siswi yang doyan tidur itu telah sampai di tempat yang ia tuju. Bermodalkan cuci muka tiga kali, ia membelalakkan matanya kuat – kuat agar tidak begitu ketahuan telah tidur di kelas bahasa. Diamatinya seluruh ruangan, ia tak mendapati siapa pun kecuali bu Geva, guru fisika yang mengajar kelas 11 dan seorang siswa yang duduk memunggunginya.
Bu Geva melambaikan tangan, meminta Haya mendekat.
“Dia kah siswi yang kau maksud itu?” Bu Geva memastikan sesuatu kepada siswa yang duduk di depannya saat itu.
Siswa berkulit putih dengan rambut hitam belah pinggir yang sedang duduk itu menengok ke arah langkah kaki yang berjalan mendekati si pemuda itu. Keduanya yang saling bertatap beberapa saat hingga siswa tadi kembali ke posisi semula, membenarkan posisi duduknya sembari mengangguk.
“Kyan telah meyakinkan ibu untuk memilih kamu sebagai pasangannya.”
Bu Geva langsung menuju ke inti pemanggilan siswi tersebut. Haya butuh waktu untuk mencerna perkataan bu Geva. Selain kondisinya yang masih setengah sadar, ia masih bingung dengan kata “pasangan” yang baru saja ia dengar.
Bu Geva tersenyum tipis. Ia tahu betul bahwa siswi yang baru saja bangun ini tidak mengerti apa yang ia katakan.
“Kamu dan Kyan akan mewakili sekolah untuk seleksi olimpiade fisika dua bulan yang akan datang.” Kali ini bu Geva memperjelas maksudnya dengan cukup lugas. Tepat. Tidak ambigu.
“Jadi ibu harap kalian bisa bekerjasama dengan baik. Nanti ibu akan buatkan jadwal untuk bimbingan tambahan setelah pulang sekolah. Dan ini surat pemberitahuan untuk orang tua kalian agar mereka tidak cemas saat kalian pulang sekolah terlalu sore. Sekarang kalian boleh kembali ke kelas.”
Bu Geva tidak memberikan celah kepada Haya untuk menolak permintaannya. Lebih tepatnya, ini adalah perintah. No complain. No cancel.

Kyan dan Haya beranjak dari tempat duduk dan berjalan keluar dari ruang guru diiringi bel istirahat. Haya berjalan mengekori Kyan. Ia masih kaget dan tidak menduga kejadian barusan. Tapi ia segera mepercepat laju kakinya, berdiri tepat di depan Kyan.
“Aku tidak mengenalmu dan aku juga yakin seratus persen bahwa kau tidak mengenalku. Lalu untuk apa kau menjadikanku pasangan di olimpiade tahun ini?” Haya masih menahan emosi untuk sesaat.
“Itu tak masalah bagiku. Entah kau cerdas atau tidak, aku tidak peduli. Sekali pun kau memang cerdas, kau hanya cukup berdiri dan diam di sampingku saat perlombaan.”
Kyan berlalu dan membiarkan Haya mematung. Ditemani beberapa kupu – kupu yang beterbangan dengan riang karena telah menyelesaikan metamorfosisnya dengan sempurna.

“Apa dia bilang? Hanya diam di sebelahnya? Dia pikir aku ini apa?” Haya bergumam sendiri.
Batinnya beribu kali membunuh emosinya yang siap untuk meluap tanpa kontrol. Tanaman puteri malu yang semangat untuk tumbuh harus rela mengatup dan menjadi korban kemarahan Haya. Sepertinya ia harus masuk ke dalam lemari es untuk mendinginkan hati dan pikirannya yang membara.
“Haya, bergegaslah ganti baju olahraga. Ini kan pelajaran yang paling kamu suka.”
Siwi, teman sebangku Haya melempar setelan baju olahraga kepunyaan Haya dari lantai dua. Haya baru sadar kalau dia sudah sampai di samping gedung induk. Gedung berarsitektur Belanda yang terdiri dari tiga lantai, yang menjadi kelasnya setahun ke depan. Jendelanya khas zaman tempo dulu, tanpa teralis. Mungkin sudah usang dan berkarat tapi belum sempat diganti.
Dengan sigap, Haya menangkapnya dan tanpa basa basi berganti pakaian di kamar mandi dekat mushola.

“Sial, kenapa mereka selalu melakukan ini?”
Haya mendengar suara siswa yang sedang mengumpat saat ia berjalan menuju gedung induk, mengembalikan baju OSIS yang ia tanggalkan barusan. Menggantinya dengan baju olahraga yang berwarna biru kaosnya dan hitam untuk celana panjangnya. Matching.
Sejenak, ia yakin bahwa siswa itu adalah Kyan, si cerdas olimpiade. Tapi kali ini, Haya merasa heran karena mendapati Kyan yang mematung di bawah pohon srikaya dan sedang menatap ke dahan bagian atas. Sekelebat ia melihat baju yang terombang – ambing mengikuti angin yang mengajaknya menari.
“Pasti itu miliknya. Dan anggap saja aku tidak melihatnya.” Haya mematri batinnya untuk pura – pura tidak tahu dan urung untuk membantu mengambilnya.

Namun hati yang putih takkan tercemar oleh pikiran yang terkontaminasi amarah. Kini ia memantapkan hati dan berbalik arah menuju tempat Kyan berada.
“Cowok tapi tidak berani memanjat!” Haya menyerang di titik lemah Kyan dengan jitu.
Dan Kyan tetap membisu.
Lagi, Haya terheran. Ada juga ya, cowok sedingin dan tanpa ekspresi seperti Kyan? Dan dengan terpaksa, Haya memanjat pohon srikaya dengan lincah. Persis seperti tupai yang sudah lihai menerka pijakan yang tepat untuk menapak. Hap hap hap. Ia lalu menjulurkan tangannya untuk meraih baju olahraga yang masih setia menggantung di dahan yang dipenuhi buah srikaya yang ranum.
“Ini! Tidak perlu berterima kasih. Aku hanya tidak sengaja.” Haya memberikan baju olahraga sambil berlalu meninggalkan Kyan yang masih membisu.
Tepat di langkah ke tujuh, Kyan bersuara.
“Entah seberapa keras aku berjuang untuk menang, toh tidak pernah ada yang bangga padaku.” Haya menengok ke arah suara yang barusan ia dengar. Ia mendapati Kyan duduk dan menunduk dengan mata sayup.
“Orang tua, kakak … aku sudah tidak mempunyai mereka lagi. Lalu untuk apa aku harus menang di lomba ini?” Sekarang, giliran Haya membisu.
Dengan khidmat, ia mendengar curahan hati seorang Kyan, si profesor berhati dingin. Ini julukan kedua yang disematkan Haya kepada Kyan.
“Kau bilang aku tidak mengenalmu? Itu salah besar. Dua minggu yang lalu, tepat jam sepuluh siang, aku mendengar seorang siswi yang sedang menangis karena mendapat nilai nol di ulangan fisikanya. Belum lima menit, aku sudah mendapatinya tertawa. Siswi itu … mudah sekali sedih dan seketika bisa bahagia tanpa sebab. Bukankah itu menyenangkan? Kau tak perlu waktu lama untuk berlarut dalam kesedihan.” Kyan membiarkan hatinya melaju tanpa rem. Mengungkapkan segalanya.
“Apa salahnya dengan jatuh? Bukankah itu seperti pemanis saat kita bisa bangkit? Kau bilang kesepian? Kau punya Allah, kan? Lalu adakah alasan untuk kau merasa sendiri? Jika aku jadi kau, aku akan membuat mereka bangga memilikiku, anak sholeh dan cerdas. Dan pastinya akan aku wujudkan semua mimpi kakakmu yang belum terwujud. Aku memang bodoh, tapi aku tak sepayah dirimu.” Haya menembaki Kyan dengan peluru harapan. Harapan yang bukan sekedar impian tapi harus dijadikan kenyataan.

Detik ini, Kyan menatap siswi di sampingnya dengan hangat. Tersenyum.
“Siswi yang aku ceritakan tadi adalah kau, Haya.”
“Tentu saja aku tahu. Karena hanya aku yang mendapat nilai nol di ulangan fisika hari itu.” Haya menimpali pernyataan Kyan dengan sedikit cemberut.
“Dan apakah kau tahu bahwa sejak hari itu aku menjadi pengagummu?”
Kyan menggantungkan perkataannya. Haya syok. Siluet bayangan dirinya yang sedang menangis telah membuat seseorang mengaguminya. Sungguh tidak logis. Irasional.
“Kau tidak keberatan kan, mempunyai pengagum seperti diriku?”
Keduanya membeku. Semut merah yang telah usai bertransmigrasi menjadi saksi si professor yang jatuh cinta dengan putri tidur nilai ulangan nol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar