Minggu, 15 Maret 2015

MEMELUK ANGKA NOL DI MERCUSUAR ZM WILLEM


MEMELUK ANGKA NOL DI MERCUSUAR ZM WILLEM
oleh: Anisa Ay

Mencarimu ibarat menaiki Mercusuar ZM Willem. Butuh beribu – ribu kalori untuk menaiki tangganya yang terdiri tujuh belas lantai. Dan kini, aku seperti terdampar di Pantai Sembilangan, menghirup oksigen yang tidak bisa dihirup, menatap awan yang tidak bisa dilihat dan mendengar deburan ombak yang tidak bisa aku rasakan debarannya.
“Lui, sudahlah hentikan! Kau hanya mencari kekosongan.”
“Tanpa angka nol, matematika tidak pernah punya arti, bukan?” jawabku memaksakan diri. Aku hanya membumbungkan egoku tanpa tahu ke mana ia hinggap.
“Kau memang benar. Tapi kau perlu ingat satu hal, angka nol-lah yang membuat ketakhinggaan pada harapanmu. Karena angka sebesar apa pun, tetap hasilnya tak hingga bila dibagi dengan angka nol.”
Wei, teman sekamarku, mungkin sudah lelah lesu lunglai menghadapiku. Ia selalau mendorongku ke jurang putus asa. Baru kali ini aku mendapati ada teman yang menyuruhku untuk menyerah. Tapi aku setuju dengan jawabannya. Jika aku berhenti, maka aku akan berlabuh di dermaga yang berbeda dengannya Wei, kau mengerti bukan? Aku ingin berlayar ke tempat ia bertahta.
Kehadiran seseorang yang berarti dalam hidup adalah candu yang tak akan pernah tergantikan oleh segepok kesenangan.[1]

***

Mentari masih enggan memeluk pagi. Begitu pun aku yang terlalu mencintai bantal bermotif bunga matahari lengkap dengan guling kesayangan yang sama sketsanya. Di luar jendela, bulir – bulir embun membuat lukisan nan sempurna bersama gerimis pagi ini. Yah, hujan di pertengahan bulan Maret.
“Lui! Kau tidak lupa agendamu hari ini, kan?” teriak Wei sambil menggoyang – goyangkan tubuhku yang masih lengket di kasur.
Kurang kerjaan sekali Wei ini, membuat gempa di kamarku pagi buta seperti ini, batinku.
“Lui!” kali ini, ia memberikan bom atomnya tepat di telingaku, membuatku terperangah dan harus membuka mata. Paling tidak, ia akan diam untuk semenit saja.
“Akhirnya kau bangun juga. Cepatlah mandi sana, jika kau tidak ingin kehilangan rombongan bus.” Wei berlalu meninggalkan ranjangku. “Dan ingat, rapikan selimut yang penuh dengan bekas liurmu itu,” pintanya sembari menutup pintu kamar.
Ada – ada saja dia, mana mungkin aku membuat pulau di selimut kesayanganku selama dua hari ini. Dia pasti mengigau. Namun, untuk pertama kalinya, aku mempercayainya. Ya… aku menemukan sebuah pulau di selimutku. Sama halnya seperti Bandung Bondowoso yang membuat seribu candi dalam semalam, aku pun menciptakan pulau dalam waktu yang singkat. “Aku memang jorok!”
Seberkas sinar matahari kini telah berani menghangatkanku di atas ranjang. Sambil mengucek mataku yang malas terbuka, ku cium udara pagi yang sarat oksigen. Paling tidak, aku telah memberi paru – paruku sarapan yang sehat.
”Memangnya ini jam berapa? Kenapa Wei seperti ulat yang bergoyang dumang tidak karuan seperti itu?” pandanganku mengitari kamar yang luasnya setengah dari kamarku di rumah. Memang tidak lebar, tapi cukuplah untuk aku dan Wei merebahkan penat usai mengambil data observasi di desa ini.
Di saat kita bersama
Di waktu kita tertawa
Menangis
Merenung
Oleh cinta
Nada dering smartphoneku bersenandung. Membuyarkan pencarianku. Dan sekarang, aku lupa menaruh benda ajaib selebar lima inchi tersebut.
Ku coba hapuskan rasa
Rasa di mana kau melayang jauh dari jiwaku
Juga mimpiku
Biarlah – biarlah
Dirimu dan diriku
Terbelenggu satu oleh ucapan manismu
Sial! Kenapa di saat genting seperti ini semua terasa berantakan. Akunya yang ceroboh atau keadaan yang sedang memusuhiku?
Lirik lagu Kita dari Sheila On 7 kembali bersenandung dan membuat pikiranku semakin tidak karuan. Aku membolak balik selimutku yang sudah ku lipat dengan rapi sebelumnya, membanting bantal guling dan membiarkan mereka beradu dengan lantai. Namun, aku masih belum menemukannya.
Semenit kemudian, aku tak lagi mendengar suara Mas Duta. Mungkin yang di seberang telepon sana sudah enggan menanti jawaban panggilan dariku.
“Lui!  Kau masih belum bangun?!” Wei kembali memasuki kamar dengan menyodorkan wajah pembegal. Siap memangsa korban di depannya.
Wei bengong. Ia kaget melihat pemandangan di depan pelupuk matanya kali ini. Baru lima menit ia tinggalkan, seakan telah terjadi komplikasi besar antara tsunami, gempa bumi, badai Catrina dan gunung meletus di dalam kamar. Bagaimana tidak, ranjang kepunyaannya yang bersih seperti piring yang telah dicuci dengan Sunlight, sekarang seperti bak sampah yang telah diaduk – aduk pemulung. Berantakan.
“Kau dendam padaku, ya? Atau ingin membuatku jantungan di usia muda?” tanya Wei sekenanya.
Aku pun hanya bisa menyengir kuda.
“Ah, sudahlah Lui. Kita harus menemui sesesorang. Segera!” perintah Wei seperti seorang jenderal kepada anak buahnya.
“Aku tidak mandi nih?” tanyaku penuh keraguan. Dia tidak benar menyuruhku keluar dengan bau kecut plus asam ini, kan?
Dengan sigap, aku mengambil baju gantiku pagi itu. Kaos lengan panjang berwarna tosca bermodel penguin dengan rok brukat hitam yang aku beli sebelum berangkat ke sini. Tampaknya ini akan sedikit menutupi ketidakmandianku. Dan tidak lupa sedikit aku taburkan bedak baby dan parfum melati kesukaanku. Sempurna.
“Kau memang pandai menipu. Ha ha ha!” tawa Wei membahana ke seisi kamar. Aku balas tawanya itu dengan lirikan tajam. Menusuk dan menyayat tempat di jantungnya.
“Maaf  - maaf Lui. Oke aku revisi. Kau pandai menghias diri. Sekarang kau puas, kan?”Aku hanya membisu. Tak perlu lah menanggapi keisengannya di saat emosiku sedang memuncak.
***
“Kau serius untuk ini Lui?”
Wei mendaratkan bola mata coklatnya ke arahku. Mengisyaratkan tanya yang harus dijawab sekarang.
“Reky Oasis namanya. Dia dikabarkan menghilang sejak kecelakan pesawat Air Asia kemarin. Dan tadi … aku melihatnya.”
“Jadi maksudmu, Reky sengaja menghindar atau bagaimana?” tanya Wei yang masih bingung dengan pernyataanku barusan.
“Sepertinya begitu. Keluarganya memang tidak menyetujui hubunganku dengannya.” Berat tenggorokan ini untuk bercerita kepada Wei tentang kisahku. Aku tidak menyangka bahwa orang yang akan membantu penelitian kami di kampung garam ini adalah Reky, kekasihku yang katanya dikabarkan meninggal.
Yah, dia dan keluarganya dengan apik telah membuat skenarionya yang tanpa cidera sedikit pun. Ingin sekali membuang siluetnya bersama ombak Pantai Sembilangan. Namun, aku hanya mendapati tubuhku yang lengket dipeluk asinnya air laut. Bagaimanapun juga, membuang tak selamanya berarti menghilangkan.
--END--

[1] dikutip dari Novel Lemannequin karya Mini GK
Cerpen ini dikutsertakan dalam tantangan @KampusFiksi dengan tema #MeminjamKata
Solo, 15 Maret 2015 15:06

Tidak ada komentar:

Posting Komentar