Selasa, 23 Juni 2015

CERPEN: BODO AMAT

BODO AMAT
Oleh: Anisa Ay


Ketika angin hanya dirasa dan langit hanya dilihat. Maka manusia tak memerlukan kelima panca inderanya, bukan?

***

            Pertengahan bulan Januari ketika awan mendung seperti biasanya menganopi bumi.
“Gue baru aja denger tadi kalo ada tindak pemerkosaan di angkutan bro!” ujar si cowok berambut belah tengah yang mirip Jimmy Lin, aktor tahun 90-an dari Taiwan, kepada rekan mengopinya pagi ini.
“Emang cewek loe yang jadi korban?” sahut cowok satunya masih sibuk mengunyah mendoan terakhir yang tersisa di atas lepek.
Amit-amit, deh. Kok loe cuek gitu sih. Ini berita lagi heboh, Ceng.”
“Bodo amat. Tuh korban ma pelakunya juga bukan saudara gue!” seru Aceng. Lepek yang tadi penuh dengan mendoan dan bakwan, kini sudah kosong digantikan angin pagi. Ah, tapi apalah guna angin itu berhembus. Toh, mayoritas orang apatis kepadanya.
“Gimana kalo itu terjadi ama keluarga loe? Masih bodo amat juga?”
“Haha… gue udah kagak punya keluarga lagi, Dul!”

***
           
“Baca apaan loe? Serius banget, Don!”
            “Ini, Ceng. Koran bekas bungkus gorengan tadi ternyata ada berita yang bikin miris. Ngerilah pokoknya!”
            “Kenapa lagi emang? Itu sih pintar-pintarnya wartawan ngarang berita. Jangan mau dikadalin! Udah sering kita digituin ama pemerintah!” pekik Aceng yang baru saja menyelesaikan seruputan terakhir es tehnya.
            “Loe itu kelewat tak acuh, Ceng. Ada anak kecil dibunuh aja, sama sekali kagak ada rasa simpatinya.”
            “Bodo amat. Mereka aja juga kagak peduli ama nasib pekerja serabutan kayak gue gini. Jadi buat apa gue ambil pusing urusan mereka.”
            Gendon yang masih kongko-kongko di atas jok motornya geleng-geleng tidak percaya. Ada juga ya, manusia yang apatis dengan keadaan sekitarnya, gumamnya dalam hati. Mungkin beberapa tahun ke depan, guru biologi akan kebingungan menjelaskan perbedaan simbiosis mutualisme, komensalisme dan parasitisme. Atau lebih parahnya, bab itu akan terhapus dibawa pergolakan zaman yang semakin angkuh menyombongkan kemampuannya. Manusia semakin egois.

***
           
Duer!
            Tabrakan antara ibu rumah tangga dengan tukang becak tak terelakkan lagi. Beberapa orang yang tengah sibuk mengunyah menu makan siang mereka bak diberi tontonan gratis. Namun, jika bisa memilih, mereka tentu tidak ingin melihatnya.
            Dua tiga orang yang sedang berlalulalang menghentikan langkah mereka, menengok peristiwa apa yang baru saja terjadi. Hampir semua warga yang melihat hanya mematung. Tak ada satu pun yang beranjak untuk berusaha menolong. Hingga seorang laki-laki yang mengaku sebagai anak si tukang becak, yang juga tukang parkir di sekitar tempat kejadian perkara, berteriak histeris meminta tolong siapa saja yang masih punya rasa empati di hatinya.
            Tiga empat menit berlalu. Tak ada yang berubah. Semua orang masih membatu. Baru setelah si anak mendekati salah seorang warga dan menariknya untuk membantu mengangkat sang ayah, beberapa laki-laki tanpa disuruh ikut menolong. Tak lebih dari lima belas menit kemudian, kedua korban sudah dibawa ke rumah sakit terdekat.

***

“Eh, Ceng! Gue baru dapat berita hot nih!”
          “Apa lagi? Aktris inisial BS nikah lagi? Atau ada gempa di salah satu pulau tak bernama milik Indonesia?” jawab Aceng ogah-ogahan. Paling-paling berita yang sengaja dibuat heboh sebagai pengalihan wacana.
            “Bukanlah! Itu tadi di depan pasar ada tabrakan tukang becak dengan ibu gendut. Keduanya luka parah. Sekarang baru aja dibawa ke rumah sakit.”
            “Bodo amat. Kayak gitu loe bilang hot? Panasan juga kopi pahit gue ini,” tunjuk Aceng pada segelas kopi kental pahit yang sudah tersaji sebelum kawannya itu tadi datang.
            Drrt…drrt…drrt.
            Smartphone kepunyaan Aceng bergetar. Sebuah pesan di whatsapp masuk. Dari kakak laki-lakinya.
Ayah tabrakan. Cepetan ke sini. RS Cipta Sehat. Segera!

--ooOOoo--

Pesan yang ingin disampaikan adalah semoga dengan cerpen ini tak ada lagi robot-robot berhati dingin yang bersemayam di hati setiap manusia. Hingga takkan lagi tercipta mesin-mesin egois dalam diri anak-anak kelak. Aamiin.

Solo, 23 Juni 2015
22:19

Tulisan ini diikutsertakan dalam tantangan @kampusfiksi dengan tema #PesanMoral
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar