Sabtu, 27 Juni 2015

CERPEN: RECYCLE


RECYCLE
Oleh: Anisa Ay


“Kay, tunggu!”
“Apa lagi? Loe pengen gue minta maaf? Itu hanya ada dalam mimpi!” seru Kay kepada kawan seorganisasinya.
“Kamu ‘kan kenal Dilan sejak lama. Jika udah ngomongin tentang laut, bencinya ia mirip Gunung Sinabung yang sedang erupsi.”
“Dia udah gede, Vi!”
“Kamu juga udah gede, Kay.”
            Kay dan Avi mematung di bawah rerimbunan pohon trembesi yang masih sibuk berfotosintesis, memberi makanan siang terbaik untuk paru-paru kedua mahasiswa tersebut.
            Kay membuang amarahnya bersamaan dengan hembusan angin musim kemarau yang masih angkuh menubruk siapa saja penghalang pergerakannya.
            “Kau harus menolongnya, Kay. Ah, bukan. Kita harus mengubah sikap paranoidnya itu.”
            “Untuk apa, Vi? Dianya aja ogah-ogahan gitu. Lagian siapa gue di mata Dilan?” ujar Kay tanpa menoleh ke arah Avi yang duduk di sampingnya. Ransel yang ia bawa selepas mengikuti mata kuliah Bu Endah terpaksa ia istirahatkan sementara. Pundaknya belum cukup kuat membopong lama-lama laptop dan peralatan kuliahnya lainnya yang beratnya mencapai angka lima kilogram.
            “Sejak kapan kau butuh alasan? Bukankah alasan tidak punya tempat di hati seorang sahabat tulen?
            Hujaman bola mata arang Avi bak katana yang siap menghunus samurai-samurai lain yang menyerang. Kay tidak berkutik. Permintaan gadis berjilbab itu seperti perintah Raja kepada prajuritnya. Tidak perlu negosiasi apalagi bantahan.
            “Gue paling benci jika loe udah ngomong, Vi!”

***

            Tirai berwarna toska berayun dengan anggun di balik jendela kaca kamar Dilan. Serupa warna senja yang sedang merona, buku catatan bersampul orange itu tergeletak cukup lama di pojok meja belajarnya. Sendiri. Tanpa sekali pun disentuh si empunya. Terkadang semut-semut yang bertransmigrasi menyapa punggung buku itu memberikan jejak setapak di atas debu-debu yang sengaja dibiarkan bertebaran. Dilan sendiri masih terlelap dalam mimpi-mimpi masa kecilnya. Masa di mana ia menghabiskan waktu dan rela pergi dari dunia ini asal orang itu bahagia. Ya… hanya orang itu yang paling ia rindukan saat ini, esok dan seterusnya.
            Sebuah pesan lewat Blackberry Messenger masuk. Dari teman SMA sekaligus kuliahnya.
Kay      : Aku mau bicara sebentar. Bisa temui aku di Batagor Pak Jum?
Dilan    : Ogah!
Kay      : Just five minutes. Please?
Dilan    : Only three minutes. No more.
Kay      : Okay! Setengah jam lagi, ya? Thank you J
Jelas ini bukan Kay. Sejak kapan ia pakai kata aku kamu, gumam Dilan dalam hati.

***

Pukul empat sore lewat tujuh menit Dilan sudah sampai di tempat yang dituju. Batagor Pak Jum adalah tempat kesukaan Kay. Di sini, masih kata Kay, makanan apapun yang dipesan selalu tersaji. Plus bagian tengah dari gerai kongko-kongko ini terdapat kolam renang yang tidak boleh dimasuki sembarang orang kecuali dengan ijin yang punya restoran. Sedangkan di tepi kolam sengaja diberikan tempat lesehan agar pengunjung bisa menikmati melodi yang dinyanyikan oleh gemericik air. Menentramkan hati, bukan?
“Sudah lama menunggunya?” sapa seorang gadis kepada Dilan.
Siluet orang yang dikenalnya muncul dari balik punggung. Awalnya, ia pikir pesan itu sungguh dari Kay. Namun, dugaanya memang selalu tepat.
“Mana, Kay?” tanya Dilan yang tidak mendapati keberadaan si pengirim pesan.
“Dia belum datang? Padahal aku menyuruhnya untuk tidak terlambat.”
“Hanya tiga menit!” ulang Dilan lagi. Ah, sepertinya ia terlalu jenuh menghadapi dua gadis yang paling dekat dalam hidupnya selain ibu dan adiknya.
“Baiklah. Ayo kita duduk di sana dan aku akan akan menyalakan alarm jam tanganku untuk tiga menit ke depan. Deal?” pinta Avi. Dan hanya dibalas Dilan dengan tatapan datar. Jika ekspresinya seperti itu berarti jawabannya adalah setuju.
Satu menit berlalu.
Dua menit terlewati sia-sia.
Tak ada tanda ataupun bau badan Kay yang tercium.
Tiga menit sudah. Tamatlah rencana Avi. Dia merasa telah gagal menjadi kawan dari kedua sahabatnya.
“Aku pulang!” seru Dilan ketika ia mulai beranjak dari tempat lesehannya. Hingga tiba-tiba orang itu mendorongnya ke tengah kolam renang dan lalu menceburkan dirinya juga bersama-sama.
“Vi, tolong aku! Aku tidak bisa berenang!” teriak Dilan sebisa yang ia lakukan. Kejadian sepuluh tahun silam telah berhasil menghipnotisnya untuk tidak mau berenang.
“Tenang dan nikmatilah panorama di bawah air, Dil!”
“Gila apa? Keadaan segenting ini, kau malah memintaku tenang. Bisa mati tenggelam beneran nih!” teriak Dilan dengan napas yang tersisa.
Just relax!” ucap Avi sekali lagi.
Dilan berusaha semampunya untuk tenang mengikuti kata Avi. Ia tenggelamkan wajahnya ke dalam kolam. Sebuah bayangan seseorang mendekatinya. Seseorang cukup ia kenal. Kay.
Jarak mereka tak lebih dari satu meter saat Kay mengeluarkan satu demi satu kejutannya kali ini. Sebuah kertas bertulis tangan yang sengaja dilaminating agar tidak basah di dalam air. Kertas putih bertinta hitam dari masa lalu keduanya. Pesan terakhir adik Dilan sebelum ia menghilang terseret ombak Pantai Klayar.
Kak Dilan tersayang…Deila selalu sayang, Kakak!
Dari tangan kirinya, Kay mengeluarkan buku bersampul orange tadi yang ia masukkan ke dalam kantong plastik. Sorot mata Dilan yang tadinya merah padam berubah sendu. Ada sedih yang tersirat di balik mata abunya.
Ayo ke atas permukaan air. Mungkin itu terjemahan kata yang ingin diucapakn Kay saat jari telunjukknya mengacung di dalam air. Keduanya pun muncul bersamaan lalu disambut sunggingan senyuman dari Avi. Kemudian diikuti Dilan dan Kay.
“Kalian benar-benar tolol! Kalau aku beneran tenggelam gimana?”
“Itu berarti loe kebangetan. Kolam ini dalamnya cuma dua meter!”
“Terserah! Tapi awas, ya jika buku itu sampe rusak. Hidup kamu tamat di sini!”
Ketiga saling bertatapan. Bercakap lewat bahasa kalbu. Sesekali tertawa lalu terdiam dan tertawa lagi. Bukankah ini perjalanan yang mengagumkan? Silih berganti tanpa perlu ada yang berubah.
--ooOOoo—

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar