Penulis : Henny Alifah
Editor : Mastris Radyamas
Cover : Naafi Nur Rohma,
Andhi Rasydan
Lay
out : Bagus Muhammad
Ma’ruf
Penerbit : Indiva
Cetakan
pertama : Maret, 2015
Jumlah
halaman : 192 halaman
ISBN : 978-602-1614-488
Harga : Rp. 46.000,00*
“Tidak pernah ada buku yang menjadi
bekas. Dia akan selamanya menjadi buku yang dapat dibaca oleh siapa pun.” (Hal.
21)
Kepulangan
Padi kali ini harus disambut dengan menghilangnya buku-buku yang ia pelihara
semenjak SD. Sang kakek memanggil tukang loak ke rumahnya lalu mengangkutnya
pergi. Gading, harus mati kutu saat dilematis berpihak kepada Padi, ayahnya
atau sang Kakek. Namun, ketika ia bertemu dengan Kingkin, sahabat kecilnya,
secercah cahaya mengembang.
“Maksudku, mengapa kita harus merisaukan
apa yang belum tentu terjadi?” (Hal. 40)
Perjalanan
Gading dan Kingkin pun dimulai. Awalnya mereka berpikir ini akan mudah
diselesaikan namun nyatanya buku yang tidak dijual itu malah berhamburan ke
beberapa tempat. Terpaksa, Gading dan Kingkin harus berbagi tugas untuk
menyelamatkan hubungan Padi dan Ayahnya.
“Berdebat itu memalingkan kalian dari
masalah pokok, membuat emosi para pelakunya, dan kalian akan saling membenci.”
(Hal. 41)
Namun,
akankah mereka meyerah ketika nyawa menjadi taruhannya? Kingkin yang bertemu perampok dan Gading yang nyaris
ketabrak mobil. Dapatkah buku yang tidak dijual itu kembali kepada sang
pemiliknya? Lalu, rahasia apa yang disembunyikan Padi hingga mati-matian tidak
meloakkan buku-buku yang ia punya?
“Seperti itu pula jika pendidikan kita
tidak membiasakan anak-anak untuk gemar membaca. Mereka tidak akan menjadi
manusia sempurna meskipun ketika dewasa mejadi orang penting.” (Hal. 74)
Judul novel ini membuat mata saya
kesengsem di antara deretan novel yang ada. Bahkan ketika saya membaca blurb di cover belakang, rasa penasaran
saya malah memuncak. Idenya terlalu unik dan tentu saja alur yang digunakan si
penulis ringan.
Perlahan, pembaca disadarkan betul
bagaimana buku yang masih dianggap asing oleh kebanyakan orang di negeri ini justru
menjadi harta karun yang tak terlihat. Sindiran-sindiran halus sengaja
dilontarkan dalam percakapan agar tidak terkesan mendakwahi secara kaku.
“Aku tidak menyuruhmu mengambil buku
terbaik. Semuanya baik asal kamu dapat mengambil sisi baiknya. Bahkan buku yang
buruk terkadang juga mengandung kebaikan meskipun sedikit.” (Hal. 155)
Henny
Alifah, penulis Buku Ini Tidak Dijual tergolong masih muda. Maksudnya, usianya
lebih mudah daripada saya (hehe) menyajikan persoalan-persoalan sosial yang
kerap dijumpai tapi dalam kisah sederhana. Saya acungi dua jempol. Begitu pula
pada editor yang tidak saya temukan typo
di dalamnya.
Logika
dalam novel ini masih masuk ke dalam nalar walaupun ada beberapa yang janggal,
yaitu saat adegan Kingkin dan Gading yang tergiur es wawan. Juga pada setting
waktu halaman 7. Pelosok Jawa Timur
sedang senja.
Namun
di halaman 8 dikatakan sedang pukul jam 12. Padahal sepenangkap saya itu masih
satu hari. Gading sudah hafal, apabila
mereka melintas di jalan depan rumahnya siang-saing begini artinya sudah hampir
pukul 12 siang.
Tapi,
overall, novel ini cocok untuk mereka
yang suka tema cinta namun tak melulu tentang sepasang kekasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar