Rabu, 16 Desember 2015

[RESENSI] NOVEL : PULANG- TERE LIYE




Penulis                      : Tere Liye
Editor                          : Triana Rahmawati
Cover                         : Resoluzy
Lay out                       : Alfian
Penerbit                     : Republika
Cetakan pertama     : September, 2015
Jumlah halaman      : iv + 400 halaman
ISBN                           : 978-602-0822-129
Harga                         : Rp. 65.000,00*

“Inilah hidupku, dan aku tidak peduli apa pun penilaian kalian. Toh, aku hidup bukan untuk membahagiakan orang lain, apalagi menghabiskan waktu mendengar komentar mereka.” (Hal. 1).

Bujang, anak tunggal dari keturunan perawe dan Tuanku Imam, diminta memilih untuk tinggal bersama Mamak dan Bapaknya di Bukit Barisan atau ke kota provinsi bersama rombongan Tauke Besar. Dan isyarat anggukan Bujang, mengalirkan bulir-bulir keikhlasan sang Mamak untuk melepasnya.

“Agar besok lusa, jika hitam seluruh hidupmu, hitam seluruh hatimu, kau tetap punya satu titik putih, dan semoga itu berguna. Memanggilmu pulang.” (Hal. 24).

Pergilah Bujang bersama Tauke Besar ke kota provinsi dan tinggal dengan keluarga Tong lainnya. Di sana ia dipertemukan dengan Frans, bule Amerika yang ditolong Tauke Besar. Frans menemukan kecerdasan Bujang ketimbang tukang pukul lainnya. Ia “dipaksa” belajar oleh Tauke Besar. Tapi bagi Bujang, menjadi tukang pukul adalah babak belur dalam perebutan wilayah bukan berjibaku dengan soal-soal aritmatika, ekonomi dan lainnya.
Amok menjadi awal perjanjian Tauke Besar dan Bujang. Sembilas belas menit bertahan dalam kepungan puluhan anggota Tong, membuat Bujang harus rela belajar bersama Frans. Maka dimulailah perjalanan Bujang menjadi tukang pukul yang tidak biasa. Kecerdasannya mengantar Tauke Besar dan anak buahnya menguasai pasar “bisnis” di Indonesia. Bahkan ketika nama Si Babi Hutan disebut, sang calon presiden ikut bergetar. Namun, apa yang terjadi ketika tempatnya mengadu menghilang satu persatu? Mamak yang sembunyi-sembunyi mengajarinya mengaji dan agama, meninggal tanpa sempat mengucap kata berpisah. Samad, sang Bapak menyusul beberapa tahun kemudian. Kedua kabar duka itu datang bersamaan adzan Shubuh yang  berkumandang.
Selanjutnya Tauke Besar yang melewati usia lima puluh tahun mengidap beberapa penyakit yang berakhir pada kematiannya saat terjadi pengkhianatan dari Basyir, anggota keluarga Tong yang ahli dalam “pemukulan”. Bisnis Tauke Besar pun dikuasai Basyir dan Bujang tersingkir ke sebuah pesantren kepunyaan Tuanku Imam (kakak Mamak) yang dulu merestui pernikahan Bapak Mamaknya. Berdua bersama Tuanku Imam di atas menara masjid, Bujang berusaha memaknai 1300 matahari terbit yang ia lewati. Untuk pertama kalinya, adzan Shubuh terasa lembut di telinga Bujang.
Pulang menjadi novel kesekian kali Tere Liye yang menjadi best seller. Mengangkat tema cinta (cinta Alllah, cinta orang tua, cinta sesama manusia), tidak membuat novel bercover hijau dengan gambar sunrise ini menjemukan. Memakai POV 1 seolah pembaca menjadi Bujang, si tukang pukul—profesi yang jarang diangkat menjadi sebuah cerita—perasaan kita diaduk-aduk tak karuan. Dari sedih, senang, tangis, bahkan takut. Jelas di novel ini Geografi, Ekonomi, Agama, Fisika disajikan dalam bentuk fiksi yang tidak menggurui. Tere Liye selalu punya bumbu yang khas dalam meramu novel cinta yang biasanya mendayu-dayu menjadi lebih berkelas. Hanya saja beberapa adegan yang seharusnya tidak dilihat Bujang, bisa diungkapkan si tokoh utama. Contohnya pada halaman 36.
Orang berkemeja putih lengan panjang terduduk di atas kursi, mengembuskan napas. Ia meraih perlahan kartu nama putih di atas meja jati, membaca namaku di atasnya, “Si Babi Hutan”, dengan empat angka di bawahnya. Nomor telepon genggamku
Akan tetapi dari sekian novel Tere Liye yang saya baca, novel ini menduduki peringkat pertama favorit saya. Sungguh sangat diharapkan, menjamurnya novel romantic, novel seperti Pulang ini bisa muncul dari penulis-penulis lainnya agar tema cinta tidak terkesan lembek.

“Sejatinya, dalam hidup ini, kita tidak pernah berusaha mengalahkan orang lain, dan itu sama sekali tidak perlu. Kita cukup mengalahkan diri sendiri.” (Hal. 219)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar